Apa yang menjadi permasalahan dalam konsep 'Toxic Masculinity''?
Toxic masculinity beracun mengacu pada gagasan bahwa gagasan sebagian orang tentang “kejantanan” melanggengkan dominasi, homofobia, dan agresi. Toxic masculinity melibatkan tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku dengan cara tertentu. Dan kemungkinan besar hal ini mempengaruhi semua anak laki-laki dan laki-laki dengan cara tertentu. Gagasan bahwa laki-laki harus bertindak tegas dan menghindari menunjukkan semua emosi dapat membahayakan kesehatan mental mereka dan dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi masyarakat, yang kemudian dikenal sebagai “Toxic masculinity”.
Toxic masculinity memanifestasikan dirinya dalam berbagai cara. Berikut adalah tujuh masalah yang dapat ditimbulkan oleh pandangan dunia dan serangkaian perilaku ini:
- Daya saing dalam hal kerja sama: Bagi sebagian orang, berebut posisi kekuasaan yang lebih besar adalah sebuah norma maskulin dibandingkan mencari peluang untuk bekerja sama. Meskipun persaingan bisa menjadi hal yang sehat dan bahkan berguna dalam banyak skenario, maskulinitas beracun membuat pria memprioritaskan untuk menjadi yang teratas dibandingkan dengan mempertimbangkan perasaan atau keinginan orang lain. Akibatnya, pria bisa menjadi lebih kasar atau sulit diajak bekerja sama.
- Kecenderungan yang lebih besar terhadap kekerasan: Toxic masculinity adalah salah satu penyebab banyaknya kekerasan laki-laki di seluruh masyarakat. Karena beberapa pria menolak menangani emosinya dengan cara yang sehat, konflik antar pasangan dapat berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Demikian pula, beberapa pria bahkan mungkin melakukan kekerasan seksual.
- Tingkat homofobia dan transfobia yang lebih tinggi: Laki-laki heteroseksual dan cisgender yang tidak berupaya memerangi Toxic masculinity mungkin memiliki bias terhadap orang-orang dengan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda. Toxic masculinity menekankan bahwa hanya ada satu cara untuk menjadi seorang laki-laki dan mengecualikan atau bahkan merendahkan pendekatan lain.
- Ketidakmampuan untuk mengakui kerentanan: Ketika seseorang menyuruh seorang anak laki-laki untuk “bersikap jantan”, umumnya implikasinya adalah mereka menyembunyikan emosinya dan kembali mengerjakan tugas yang ada. Sejak usia muda, hal ini menanamkan keyakinan bahwa tidak bisa menjadi “pria sejati” jika mengakui adanya rasa rentan. Akibatnya, banyak pria dewasa menolak mencari perawatan kesehatan mental atau meminta dukungan emosional apa pun, sehingga menyebabkan mereka mengelola kondisi internal dengan cara yang kontraproduktif dan merusak.
- Meningkatnya seksisme terhadap perempuan: Toxic masculinity secara praktis identik dengan misogini. Laki-laki yang menerapkan sikap ini percaya bahwa maskulinitas pada dasarnya lebih unggul daripada feminitas, sehingga membuat mereka mengandalkan stereotip gender yang tidak benar dan berbahaya dalam interaksi mereka dengan perempuan. Dalam kasus ekstrim, hal ini dapat menyebabkan pelecehan seksual. Pada tingkat yang lebih tertutup, hal ini mungkin muncul melalui “mansplaining”, sikap merendahkan, atau mendukung kesenjangan yang terus berlanjut antara laki-laki dan perempuan di seluruh masyarakat.
- Perasaan berhak yang berlebihan: Laki-laki yang Toxic masculinity merasa berhak dalam pekerjaan, hubungan, dan bidang kehidupan lainnya. Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan masalah kesehatan mental seperti narsisme dan delusi keagungan. Para remaja putra mungkin merasa mereka dapat mengambil risiko berlebihan tanpa konsekuensi karena sikap ini. Konsep Toxic masculinity bahkan dapat berujung pada kekerasan yang tidak disengaja, bahkan ada yang melakukan kejahatan dengan kekerasan dan tidak mengharapkan adanya pembalasan.
- Emosi yang lebih tertekan: Kurangnya ekspresi dan pengelolaan emosi merupakan inti dari maskulinitas beracun. Pria-pria tertentu menukar kemampuan apa pun untuk mengelola masalah kesehatan mental mereka secara efektif demi terus-menerus menunjukkan sifat-sifat stereotip maskulin. Di balik sifat luarnya yang keras dan terkadang kejam sering kali terdapat seseorang yang berada dalam penderitaan emosional yang luar biasa tanpa sumber daya atau pemahaman tentang cara menangani perasaan ini. Oleh karena itu, memendam semua emosi ini juga dapat memengaruhi kesehatan fisik pria.
Psikoterapi yang intinya pengobatan dengan cara psikologis seperti terapi perilaku, terapi kognitif dan relaksasi juga sangat diperlukan. Jadi jangan takut untuk ke dokter jiwa untuk berkonsultasi. Satu hal penting yang perlu diingat bahwa gangguan jiwa baik itu skizofrenia, depresi atau kecemasan yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan kerusakan otak. Keadaan ini dapat membuat orang yang menderitanya mengalami penurunan fungsi berpikir yang berat.