Deteksi Gangguan Pendengaran pada Bayi

Deteksi Gangguan Pendengaran pada Bayi

Sahabat Hermina, kemampuan mendengar bagi bayi merupakan hal penting yang akan menunjang kemampuan belajarnya kelak. Untuk mengetahui apakah bayi memiliki gangguan pendengaran atau tidak, sebaiknya lakukan tes pendengaran sejak bayi lahir. Orangtua dianjurkan untuk melakukan tes tersebut sebelum membawa pulang bayi dari rumah sakit.

Tes pendengaran pada bayi bertujuan untuk mendeteksi apakah bayi memiliki gangguan pendengaran, sehingga dapat ditentukan langkah penanganannya. Tes ini perlu dilakukan sedini mungkin, mengingat indra pendengaran berperan penting dalam menunjang kemampuan berkomunikasi serta tumbuh kembang bayi.

Berdasarkan data WHO, 1 dari 1.000 kelahiran bayi di Indonesia mengalami gangguan pendengaran. Oleh karena itulah pentingnya untuk bisa mendeteksi dan memberikan penanganan yang tepat sejak dini. Sebagian besar bayi ini dilahirkan dalam keluarga tanpa riwayat kehilangan pendengaran permanen. Kehilangan pendengaran permanen dapat secara signifikan mempengaruhi perkembangan bayi.

Mencari tahu lebih awal dapat memberi bayi-bayi ini kesempatan yang lebih baik untuk mengembangkan keterampilan bahasa, ucapan, dan komunikasi. Ini juga akan membantu mereka memanfaatkan hubungan dengan keluarga atau pengasuh mereka sejak usia dini.

Tes pendengaran yang digunakan adalah Otoacoustic Emission (OAE). OAE adalah skrining pendengaran untuk menilai sela rambut yang terdapat di rumah siput (koklea). Tes yang menggunakan alat berbentuk headset ini dapat mengukur getaran suara dalam liang telinga. Secara sederhana, OAE bekerja sebagai stimulan juga receiver. Stimulus yang dipancarkan melalui headset tersebut kemudian ditangkap oleh sel rambut dengan sebelumnya telah terlebih dahulu menggetarkan gendang telinga dan melalui tulang pendengaran. Stimulus yang tertangkap oleh sel rambut ini kemudian menghasilkan getaran yang kembali ditangkap oleh receiver. Setelah getaran diterima oleh receiver, barulah dapat diputuskan mengenai baik atau tidaknya fungsi koklea berdasarkan perbedaan amplitudo yang telah diterima.

Terdapat berbagai faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran, diantaranya adalah:

  • Kondisi atau penyakit yang memerlukan perawatan di Neonatus Intensive Care Unit (NICU) selama 48 jam atau lebih setelah kelahiran.
  • Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang menyebabkan tuli sensorineural atau konduktif.
  • Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang menetap sejak lahir.
  • Lahir belum cukup bulan atau pematur.
  • Berat badan lahir rendah (BB kurang dari 1500 gram).
  • Skor APGAR yang berkisar dari 0-3 dan 4-10 dan hiperbilirubin.
  • Riwayat infeksi TORCH saat masa kehamilan.
  • Kelainan tulang wajah/ tengkorak.

Balita dengan salah satu faktor risiko tersebut mempunyai kemungkinan mengalami ketulian 10 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang tidak memilikinya. Bila terdapat tiga buah faktor risiko, kecenderungan menderita ketulian diperkirakan sampai 63 kali lipat lebih besar. Sedangkan, untuk bayi baru lahir, dan dirawat di ruang intensif (NICU) akan berisiko mengalami ketulian sebesar 10 kali lipat bayi normal.

Nah Sahabat Hermina, jika merasakan gejala gangguan pendengaran pada Si Kecil, segera periksakan ke dokter spesialis di rumah sakit terdekat. Dokter akan melakukan serangkaian tes dan pemeriksaan pendengaran untuk mengetahui apa penyebab spesifik atas gangguan yang terjadi. Salam sehat

 

Cookie membantu kami memberikan layanan kami. Dengan menggunakan layanan kami, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.