Gangguan Jiwa, Berbahayakah?
Apa hal pertama yang muncul di benak saat kita mendengar "gangguan jiwa"? Apa yang anda pikirkan tentang seseorang dengan gangguan jiwa? Apakah takut, menghindari dan menjauh dari mereka? Itulah yang dipikirkan kita, manusia, tentang mereka. Ini adalah stigma.
Menurut Kamus Meriam-Webster, stigma adalah suatu celaan atau tanda aib seseorang. Stigma memiliki konotasi negatif dan mengandung diskriminasi. Stigma dapat menyebabkan penghancuran martabat seseorang dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Bayangkan bila kita memiliki cacat pada kaki, lumpuh, atau buta atau kanker dan orang-orang menatap kita dalam penghinaan dan meremehkan anda. Kemudian, kita akan mulai merasa bahwa kita adalah orang yang memalukan. Kita mungkin akan marah karena kita bukanlah orang yang menginginkan penyakit dan kecacatan ini terjadi, tetapi orang selalu melihat kita seperti anda yang dituduh disalahkan.
Sama saja dengan orang dengan gangguan jiwa. Mereka juga tidak ingin memiliki gangguan itu. Lantas, apa perbedaan antara gangguan jiwa dan penyakit lain?
Gangguan jiwa adalah sindroma perilaku yang secara klinis bermakna yang terjadi pada individu di satu atau lebih area fungsi yang penting. Gangguan jiwa memengaruhi pikiran, emosi, perilaku dan kognisi seseorang sehingga dapat menyebabkan gangguan fungsi seseorang dalam pendidikan, pekerjaan dan atau kehidupan sosial.
Gangguan jiwa sama seperti penyakit lainnya, hanya saja, gangguan jiwa mengenai organ otak yang mengatur “kejiwaan” seseorang. Gangguan jiwa mirip seperti penyakit darah tinggi (hipertensi) atau gula (diabetes mellitus) yang memerlukan pengobatan seumur hidup untuk dapat mengontrol dengan stabil. Faktor risikonya adalah perbedaan utamanya. Tidak ada faktor pasti yang menyebabkan gangguan jiwa, namun penelitian menemukan tiga faktor risiko yang terlibat, yaitu faktor biologi, psikologis dan sosial.
Faktor biologi utama adalah genetik dan ketidakseimbangan neurotransmiter (zat di otak untuk berkomunikasi satu sama lain) di otak. Anak-anak dengan orang tua yang mengalami gangguan jiwa rentan memiliki kelainan serupa. Penelitian terbaru menemukan bahwa individu dengan skizofrenia, depresi berat, gangguan bipolar, autism dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) umum diderita juga pada keturunannya. Selain itu, penelitian juga menemukan bahwa ketidakseimbangan zat kimia di otak seperti dopamin, serotonin, glutamat dan norepinefrin di otak dapat menimbulkan perubahan perilaku yang sering kita temukan pada orang dengan gangguan jiwa.
Kelebihan dopamin diasumsikan menyebabkan halusinasi dan delusi yang sering ditemukan pada skizofrenia. Kekurangan serotonin dan norepinefrin ditemukan berperan dalam depresi. Kelebihan glutamat dan dopamin ditemukan berperan dalam gejala mania bipolar.
Ketidakseimbangan neurotransmiter itu sendiri merupakan tujuan dari pengobatan, yaitu untuk menyeimbangkan ketidakseimbangan zat tersebut di otak. Penelitian juga menemukan bahwa infeksi berat, cedera otak, penyakit ginjal kronis, paparan racun, penyalahgunaan narkoba dan obat juga terkait dengan gangguan jiwa.
Selain faktor biologis, ada faktor psikologis sering terlibat dalam menyebabkan gangguan jiwa. Adanya riwayat pelecehan fisik dan emosional, pengabaian pada masa kanak-kanak dapat menjadi penyebab utama trauma psikologis. Kehilangan figur orang tua terlalu dini juga memaksa seorang anak untuk tumbuh lebih cepat tanpa ada orang yang dapat mengasuhnya dengan baik. Cara didik orang tua mereka juga terkait dengan bagaimana anak memecahkan, mengatasi dan beradaptasi dengan masalah dengan cara yang dewasa atau sebaliknya. Semua ini terkait erat dengan pertumbuhan dan perilaku kepribadian.
Faktor sosial juga tidak terlupa karena seringkali menjadi pemicu terjadinya gangguan jiwa pada individu yang sudah rentan mengalaminya. Stresor tertentu, seperti kematian orang yang signifikan, kegagalan dalam pekerjaan atau sekolah, perceraian, terpaan bencana, atau perubahan keadaan dapat memicu perubahan perilaku yang signifikan. Faktor sosial itu sendiri juga dapat berperan sebagai terapi yang membantu penyembuhan penderitanya. Misalnya, menurut penelitian, bekerja dapat membantu orang dengan gangguan jiwa untuk memperbaiki gejalanya, selain pengobatan. Dapat dikatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa tidak sepatutnya dijauhi dan tidak diberi pekerjaan, melainkan harus dibantu untuk bekerja sesuai kapasitasnya agar dapat mengalami perbaikan.
Mendiagnosis gangguan jiwa tidak semudah penyakit lainnya, seperti tumor atau hepatitis yang dapat didiagnosis melalui tes darah, Computerized Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Gangguan jiwa berbeda dan tidak dapat didiagnosis dengan cara sesederhana itu. Mendiagnosis gangguan jiwa harus dilakukan dengan hati-hati dengan sebuah wawancara yang sangat teliti untuk mengeksplorasi keseluruhan fenomena dari riwayat gangguan saat ini, riwayat gangguan dahulu dan sejak lahir, juga mewawancarai keluarga terdekat.
Orang awam kebanyakan mengenal depresi, bipolar dan skizofrenia sebagai gangguan jiwa, padahal ada begitu banyak gangguan jiwa yang jarang dikenal seperti gangguan panik, fobia, gangguan cemas, gangguan makan, gangguan tidur, ketergantungan internet, game, obat atau narkoba. Semua ini merupakan gangguan jiwa yang sering dialami banyak orang di sekitar kita saat ini, namun tidak diketahui sebagai gangguan jiwa. Mungkin kita sendiri juga mengalaminya…
Kiranya kita dapat lebih memahami mengenai gangguan jiwa dan perlunya menjauhi stigma yang dapat memperburuk kondisi penderitanya serta membuat orang dengan gangguan jiwa semakin rendah diri. Mari kita bantu penderitanya dengan membawa mereka ke psikiater di rumah sakit Hermina Tangerang dan terus mendukung mereka.