KUSTA DAN STIGMA
Kusta merupakan penyakit menular kronis disebabkan oleh bakteri kusta (Mycobacterium leprae) yang termasuk dari penyakit terabaikan dan hingga kini masih menjadi perhatian dunia. Indonesia hingga saat ini belum dinyatakan bebas dari kusta dan menduduki peringkat ke 3 negara dengan kasus kusta terbanyak di dunia setelah India dan Brazil. Kusta dikenal juga dengan penyakit Morbus Hansen ataupun Lepra. Penularan bakteri kusta antara lain kontak kulit yang erat dan melalui saluran pernapasan seperti percikan ludah atau dahak yang terpapar terus menerus dan dalam waktu yang lama, hal ini menujukkan bahwa bakteri ini tidak dapat meluar ke orang lain dengan mudah. Adapun faktor pendukung lainnya yaitu bergantung dari jumlah atau virulensi dari bakteri kusta, daya tahan tubuh, usia, jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan lingkungan.
Bakteri kusta dapat menyebabkan kerusakan pada saraf dan kemudian kulit, mata dan organ lainnya. Gejala yang sering dikeluhkan yaitu kelainan saraf seperti rasa lemah ataupun mati rasa, kelainan kulit berupa bercak warna kemerahan, kehitaman ataupun putih yang dapat disertai kulit kering ataupun bersisik. Keluhan ini kadang tidak dikenali oleh pasien dan akan disadari sebagai cedera seperti luka ataupun saat gejala semakin memberat seperti bengkak pada wajah, lengan dan tungkai hingga terjadinya kelumpuhan. Kusta yang dikenali dan diterapi lebih awal dapat disembuhkan. Kepatuhan dalam pengobatan seperti meminum obat teratur tiap hari sesuai dengan dosis dan lama terapi, memperhatikan asupan nutrisi dapat mempercepat proses penyembuhan. Selain itu, perilaku 3M yaitu memeriksakan mata, tangan dan kaki ; melindungi mata, tangan dan kaki; dan merawat diri dapat mencegah kecacatan lebih lanjut.
Salah satu masalah dalam penanggulangan kusta yaitu stigma yang melekat pada masyarakat sehingga berdampak pada orang dengan kusta dan keluarganya. Stigma mengganggu kualitas hidup orang yang mengalami kusta dalam kehidupan sehari-hari seperti berpakaian, berjalan dan lainnya. Adapun dampak dalam kehidupan sosial seperti dikuncilkan dalam masyarakat, kesulitan dalam mencari lapangan kerja, beribadah di rumah ibadah, penggunaan kendaraan umum, pencarian pasangan hidup dan lainnya.
Oleh karena ini, orang yang mengalami kusta menjadi takut keadaannya diketahui oleh orang lain dan enggan untuk memeriksakan diri, berobat serta merawat diri. Perlakuan negatif dapat pula membuat penderita kusta mengalami gangguan psikis seperti menjadi sedih, putus asa, cemas, depresi dan kurang percaya diri sehingga stigma lebih berat dari penyakit kusta itu sendiri. Berdasarkan hal ini perlu bagi kita untuk meningkatkan kesadaran terhadap penyakit kusta, mendeteksi dan mengobati kusta lebih awal. Prinsip yang paling penting dalam mengeliminasi kusta yaitu mengakhiri stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan kusta.