Tips Pemberian Reward dan Punishment yang Tepat pada Anak
Banyak orang tua yang menggunakan reward dan punishment sebagai bagian dari pembentukan perilaku anak. Namun, acapkali orang tua mengeluh karena ternyata pemberian reward dan punishment tidak membuat perilaku anak menjadi lebih baik.
Sebelum membahas lebih jauh, sebaiknya kita bahas dahulu apa itu reward dan punishment. Reward dan punishment adalah bagian dari metode pembelajaran Operant Conditioning yang dikembangkan oleh B.F. Skinner. Ia adalah seorang psikolog beraliran behaviorisme yang banyak memfokuskan penelitiannya pada perilaku manusia dan proses terbentuknya perilaku. Salah satu hasil buah karyanya adalah mengenai reward dan punishment.
Reward (yang disebut reinforcement positif oleh B.F. Skinner) adalah penguat munculnya suatu perilaku di masa depan, sementara punishment adalah pelemah munculnya suatu perilaku di masa depan. Seringkali orang tua terbalik dalam menerapkan reward dan punishment ini. Jadi perilaku yang tidak diharapkan diberi reward, sehingga akan meningkat kemunculannya di masa depan dan perilaku yang diharapkan diberi punishment, sehingga tidak muncul lagi di masa depan.
Contohnya, anak yang menangis karena ingin membeli mainan (perilaku yang tidak diharapkan), kemudian diberi permen (reward) oleh orang tuanya, maka di masa depan, anak akan menangis lagi (perilaku tidak diharapkan meningkat) untuk memperoleh mainan. Contoh lainnya, seorang anak yang sedang mengeksplorasi lingkungan dan penasaran mengenai cara kerja TV (perilaku yang diharapkan, yaitu keinginan untuk belajar) bertanya kepada orang tuanya. Orang tua memberikan tanggapan negatif dengan meminta anak untuk berhenti bertanya (punishment). Akibatnya, di masa depan, anak ini tidak akan bertanya lagi (keinginan untuk belajarnya hilang).
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memahami cara pemberian reward dan punishment yang tepat. Fokuskan pemberian reward pada perilaku yang diharapkan saja. Berikut adalah tips pemberian reward yang tepat:
1. Diberikan segera
Saat perilaku yang diharapkan muncul, segera berikan reward. Semakin cepat reward diberikan setelah perilaku muncul, semakin efektif hasilnya. Dan sebaliknya, semakin lama reward diberikan setelah perilaku muncul, semakin tidak efektif juga hasilnya.
2. Ada hubungan erat
Pemberian reward harus dihubungkan dengan munculnya suatu perilaku tertentu yang diharapkan. Jadi kemunculan suatu perilaku tertentu selalu diikuti dengan pemberian reward hingga terbentuk hubungan antara perilaku dengan reward. Hal ini membuat anak memahami bahwa reward tidak akan diberikan jika ia tidak melakukan perilaku yang diharapkan.
3. Perhatikan kondisi
Sebelum memberikan reward, ada baiknya orang tua memastikan kondisi mendukung pemberian reward tersebut. Jangan sampai kondisi membuat efektivitas reward berkurang. Contohnya pemberian reward es krim di saat hujan lebat dan udara dingin. Tentunya anak menjadi kurang tertarik pada reward tersebut.
4. Perbedaan individual
Setiap reward memiliki makna yang berbeda bagi anak. Oleh karena itu perlu dilakukan observasi dan penilaian yang mendalam untuk menentukan apa yang disukai anak dan dapat memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu. Contohnya, permen bagi anak A mungkin adalah hal yang sangat ia sukai, namun anak B dapat menganggap permen sebagai hal yang tidak ia sukai.
5. Kekuatan dari reward
Perlu juga diperhatikan bahwa setiap reward memiliki kekuatan yang berbeda dalam meningkatkan munculnya perilaku. Reward yang lebih kuat tentunya akan meningkatkan munculnya perilaku dengan lebih efektif. Misalnya, anak yang menyukai makanan manis, akan lebih termotivasi saat melihat gulali yang besar, dibandingkan dengan sepotong permen.
Pembahasan berikutnya adalah mengenai punishment. Salah satu jurus jitu orang tua untuk mengurangi munculnya perilaku yang tidak diharapkan dari anak. Namun, pemberian punishment dapat menimbulkan berbagai masalah, yaitu:
1. Memunculkan respon agresi atau respon emosi lainnya
Hasil penelitian membuktikan bahwa punishment dapat menyebabkan munculnya respon agresi sebagai bentuk pertahanan diri. Selain itu punishment juga dapat menyebabkan emosi-emosi negatif, seperti rasa rendah diri, kesedihan, frustrasi, dan kebencian.
2. Menimbulkan perilaku menghindar
Pemberian punishment dapat memicu munculnya perilaku menghindar atau melarikan diri, baik dari perilaku target (perilaku yang ingin dihilangkan) atau orang yang memberikan punishment. Contohnya, anak yang sering dipukul (punishment) saat menangis (perilaku target yang ingin dihilangkan), akan menghindar dari orang tuanya saat menangis, agar tidak dipukul.
3. Dapat menyebabkan penggunaan punishment yang salah atau berlebihan
Keberhasilan orang tua dalam pemberian punishment untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan dari anak dapat menjadi “candu” bagi orang tua untuk terus memberikan punishment atau bahkan meningkatkan intensitas hukuman untuk perilaku anak lainnya.
4. Anak yang diberikan punishment akan mencontoh dan kemungkinan besar akan menggunakan metode yang sama di masa depan.
Pemberian punishment pada anak tidak serta merta dilupakan oleh anak, melainkan akan dicontoh dan dilakukan saat ia menghadapi situasi yang serupa. Misalnya saat bertemu dengan teman yang berbicara kotor, ia akan memukul mulut anak tersebut, karena saat ia berbicara kotor di rumah, mulutnya dipukul oleh orang tuanya.
5. Punishment banyak berhubungan dengan masalah etika
Pemberian punishment sebagai metode pembentukan perilaku masih menjadi perdebatan di antara professional. Sebagian besar menganggap bahwa pemberian punishment tidaklah etis dan terkadang juga berbahaya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, metode pembentukan perilaku anak yang lebih disarankan adalah dengan pemberian reward yang fokus pada perilaku yang diharapkan, bukan pemberian punishment yang lebih berfokus pada perilaku yang tidak diharapkan. Semoga bermanfaat, Sahabat Hermina.