Tuberkolosis dan Kebiasaan Merokok

Tuberkolosis dan Kebiasaan Merokok

Hari Tuberkulosis Se-dunia (World TB Day) diperingati setiap tanggal 24 Maret. Tema peringatan World TB Day tahun 2023 adalah  “Yes! We Can End TB”. Ayo Bersama Akhiri TBC,Indonesia Bisa.” Tema ini merupakan bentuk  optimisme semua pihak sekaligus komitmen bersama untuk eliminasi TBC pada tahun 2030 yang tertuang dalam komitmen global End TB Strategy.

Global TB Report yang dirilis WHO tahun 2022 menunjukkan bahwa 10,6 juta orang menderita tuberkulosis di dunia. TBC menjadi salah satu pembunuh menular paling mematikan. Angka kematian akibat TBC secara global mencapai 1,6 juta, berarti setiap hari, lebih dari 4.300 orang meninggal karena TBC. Insiden TBC di Indonesia tahun 2021 mencapai 969.000 kasus atau 354 kasus per 100.000 penduduk dengan angka mortalitas mencapai 144.000 jiwa (52 per 100.000 penduduk). Angka tersebut masih jauh dari target Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan insidensi kasus tuberkulosis menjadi 65 per 100.000 penduduk pada tahun 2030 dan target penurunan angka kematian akibat TBC menjadi 6 per 100.000 penduduk.

Permasalahan dan tantangan lain adalah munculnya kasus Tuberkulosis Resisten Obat (TB RO), TB Anak, TB-HIV, dan TB dengan komorbid dengan insiden kasus semakin meningkat. Bakteri Mycobacterium tuberkulosis (M.tb) yang terkandung di dalam percikan ludah atau dahak menyebar dengan cepat melalui udara dari seorang penderita TBC aktif kepada sesorang yang sehat, baik saat berbicara, bersin, atau batuk. Masih tingginya kasus TBC di Indonesia tidak terlepas dari faktor resiko yang melekat erat dengan kebiasaan sehari-hari, salah satunya yaitu merokok. Beberapa faktor resiko lain mudahnya terinfeksi tuberkulosis adalah komorbid seperti diabetes, hipertensi, malnutrisi, dan orang dengan HIV-AIDS (ODHA).

 

Tradisi Dan Tren Rokok Masa Kini

Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berinteraksi dan bersilaturahmi, baik keperluan transaksi ekonomi, atau sekedar kumpul bersama sambil menikmati secangkir kopi. Bagi sebagian kelompok masyarakat, merokok adalah tradisi yang mengiringi setiap kegiatan hari-hari. Sebanyak apapun bukti akan bahaya asap atau uap rokok bagi kesehatan, mereka tidak peduli.

Kalau kita kaji dari zaman hingga kini, rokok terus berinovasi dan beradaptasi memenuhi kebutuhan semua kelompok usia. Secara konvensional, rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus daun nipah atau kertas, sedangkan merokok adalah menghisap rokok atau proses menikmati tembakau yang dibakar. Perkembangan teknologi saat ini menyebabkan definisi rokok mengalami perluasan arti. Terdapat rokok elektrik (E-Cigarrret) di mana aktifitas merokok mencakup aktifitas menghirup uap cairan kimiawi menggunakan alat khusus yang disebut vape.

Penggunaan electronic cigarettes atau biasa disebut vaping semakin meningkat di kalangan remaja dan usia produktif. Rokok elektrik ini terkenal juga dengan berbagai nama, seperti “e-cigs”, “vapes”, “mods”, “tank systems”, “e-hookahs”, “vape pens”, dan “electronic nicotine delivery systems (ENDS). Beberapa faktor yang mendukung perkembangan cepat vaping adalah adanya anggapan rokok elektronik sebagai alternatif yang lebih sehat dari pada rokok konvensional karena kadar bahan toksik dan karsinogen cenderung lebih rendah. Selain itu, beberapa komunitas juga mengkampanyekan bahwa vaping sebagai salah satu alat untuk terapi berhenti merokok. Pemasaran vape yang massif dan agresif membuka peluang usaha baru, dimana-mana toko yang menjual device vaping dan cairan isi ulangnya menjamur. Vaping dianggap lebih keren bagi anak muda, menjadi suatu gaya hidup dan kultur baru.

Rokok elektronik terdiri dari beberapa bagian, yaitu baterai lithium, komponen pemanas, dan kontainer yang berisi cairan. Cairan akan diubah menjadi uap untuk inhalasi. Cairan vape mengandung pelarut (propylene glycol, vegetable glycerin), perisa (buah-buahan, mint, dan lain-lain), serta zat aktifnya nikotin. Zat-zat tersebut  menyebabkan gejala mirip infeksi saluran napas atas dan berpotensi menjadi zat penyebab kanker, menyebabkan iritasi pada mata, paru, dan esofagus dan dapat menyebabkan penurunan kapasitas faal paru.  

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merilis adanya kasus gagal napas akut akibat vaping yaitu EVALI (e-cigarette or vaping, product use associated lung injury). Penyebab utama EVALI diperkirakan karena vitamin E asetat yang mengandung tetrahydrocannabinol (THC) yang masuk ke tubuh saat penggunaan vape. Komplikasi EVALI antara lain: acute respiratory distress syndrome, gagal napas, sehingga beberapa pasien butuh intubasi dan ventilasi mekanis.

Adiksi nikotin

Merokok adalah aktifitas menyenangkan, karena di beberapa cycle pertemanan, rokok secara sosial dianggap sebagai simbol pertemanan dan keakraban, sedangkan secara pribadi rokok menimbulkan ketagihan.

Pada rokok konvensional, terkandung zat seperti tar, nikotin, karbon monoksida, dan lain-lain, begitu juga halnya dengan rokok elektrik. Nikotin di dalam rokok apabila dihisap akan mencapai otak dalam tujuh detik dan berikatan dengan reseptor asetilkolin nikotinik (nAChR). Aktivasi terhadap saraf ini menyebabkan terjadi produksi dopamin. Dopamin mampu memperkuat stimulasi otak dan mengaktifkan reward pathway, yakni pengaturan perasaan dan perilaku melalui mekanisme tertentu di otak. Dopamin merupakan senyawa kimia yang bertanggung jawab terhadap rasa senang, tenang, motivasi dan menghilangkan rasa sakit. Pelepasan dopamin tersebut hanya bersifat sementara, sehingga perokok akan mengulangi lagi kebiasaannya merokok untuk mendapatkan sensasi yang sama tapi dengan dosis atau jumlah rokok yang bertambah. Seseorang dapat dikatakan mengidap adiksi (kecanduan) nikotin apabila mengalami gejala toleransi dan gejala putus zat akibat berhenti merokok.

 

Dampak Rokok

Asap rokok terdiri dari lebih 7.000 senyawa kimia dan terdapat 69 zat karsinogenik penyebab kanker. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 mencatat persentase perokok usia ≥15 tahun di Indonesia sebanyak 28,6 %, dan perokok usia ≤18 tahun sebanyak 3,44%.

Kebanyakan anak-anak menjadi perokok pasif. Riskesdas 2018 mencatat 39 juta anak usia 0-14 tahun yang terpapar asap rokok di dalam rumah, 13 juta di antaranya adalah balita. Tidak hanya perokok pasif atau secondhand smoker yang menghirup langsung asap rokok, perokok pihak ketiga (third-hand smoker) adalah anak-anak kita yang menghirup partikel asap rokok atau partikel uap vape yang menempel di benda sekitar (seperti rambut, baju, dinding, dan karpet).

Apabila aktifitas merokok dengan bebas dibiarkan saja tanpa aturan yang jelas. maka kita berpotensi menciptakan kehancuran masa depan anak. Tradisi merokok melemahkan semua sendi kehidupan. Karena racun rokok tidak hanya merusak sistem pertahanan tubuh, sehingga mereka mudah terserang penyakit. Bahkan secara sosioekonomi, merokok sangat merugikan anggaran belanja keluarga dalam memenuhi kebutuhan pokok.

 

Perokok Lebih Rentan Menderita TBC

Salah satu penelitian dilakukan oleh Roya Alavi-Naini et al. di Iran membuktikan bahwa perokok memiliki resiko 3 kali lebih tinggi menderita TBC dibandingkan sampel kontrol yang tidak merokok. Studi cross-sectional yang dilakukan oleh Altet-Gomez menemukan M.tuberculosis lebih cepat bereplikasi pada perokok karena perokok memiliki lebih banyak lesi kavitas, dan lebih sering didapatkan hasil BTA positif dari pemeriksaan mikroskopis sputum.

Merokok merusak struktur dan fungsi saluran napas serta menurunkan aktifitas sistem kekebalan tubuh. Terjadinya TBC telah terbukti terkait dengan perubahan respon imun dan beberapa defek pada sel imun seperti makrofag, monosit dan limfosit CD-4. Mekanisme lain, seperti gangguan mekanis fungsi silia dan efek hormonal, juga bisa muncul secara sekunder akibat merokok. Selain itu, Kemampuan fagositosis makrofag alveolar pada perokok lebih rendah, sehingga lebih beresiko aktifnya kuman patagen. Studi oleh Qiu et al pada tahun 2017 mengatakan bahwa perokok merangsang makrofag untuk menghasilkan lebih banyak IL-8 yang menyebabkan peradangan berlebihan. Hasil penelitian oleh Kalra et al.  juga menemukan eksposur dari asap rokok dapat mempengaruhi daya tanggap Sel T, menurunkan proliferasi sel T dan menurunkan respon antibodi.  

Efek dari rokok elektrik terhadap resiko tuberkulosis juga sama dengan rokok konvensional. Andromeda-Celeste Go´mezI dalam publikasi hasil penelitiannya “E-cigarettes: Effects in phagocytosis and cytokines response against Mycobacterium tuberculosis” menyebutkan bahwa rokok elektronik merangsang respons sitokin pro-inflamasi dan mengganggu fungsi fagosit dan respon sitokin terhadap M.tuberculosis.

Oleh karena itu, semua faktor tersebut dapat berkontribusi pada peningkatan kerentanan individu perokok untuk menderita penyakit TBC, mempercepat timbulnya TBC aktif, meningkatkan risiko TBC kambuh dan menurunkan efektifitas pengobatan TBC.

 

Mari berhenti merokok mulai dari sekarang, bersama Kita Akhiri TBC, Indonesia Bisa!

Cookie membantu kami memberikan layanan kami. Dengan menggunakan layanan kami, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.