Vaksin MMR dapat menimbulkan autisme, fakta atau Mitos?

Vaksin MMR dapat menimbulkan autisme, fakta atau Mitos?

Apa itu vaksin MMR?

Vaksin MMR (Measles, Mumps and Rubella) memberikan perlindungan terhadap tiga infeksi virus yang parah: Campak, Gondong, dan Rubella. Sebelum vaksin MMR ditemukan, penyakit ini sangat menular dan umumnya dialami oleh anak-anak. Efek samping yang paling parah dari penyakit Campak, Gondong, Rubella, termasuk pneumonia, meningitis atau Congenital Rubella Syndrome, yang disebabkan oleh infeksi virus rubella pada ibu selama kehamilan.

 

Vaksinasi MMR yang tersedia di Indonesia mengandung campuran dari ketiga virus tersebut, namun berupa virus hidup yang telah dilemahkan, sehingga mampu merangsang sistem kekebalan namun tidak cukup kuat untuk memicu infeksi pada orang sehat. Seperti layaknnya jenis vaksinasi yang mengandung kuman hidup dilemahkan dapat menimbulkan efek samping yang paling umum yaitu demam, bengkak area suntik, dan ruam ringan. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk vaksinasi MMR adalah usia 18 bulan. Vaksin ini menjadi vaksin lanjutan pasca vaksinasi wajib dasar MR (Measle Rubella) yang diberikan pada usia 9 bulan. Pada usia 18 bulan, anak-anak seharusnya mendapatkan ulangan dari Vaksinasi MR ataupun dalam bentuk MMR. Perbedaan dari kedua vaksin ini adalah, tidak adanya proteksi terhadap penyakit gondong pada vaksinasi MR.

 

Tentu saja MMR adalah vaksinasi yang lebih lengkap dan dapat menjadi pilihan lebih baik bila tersedia di institusi kesehatan dan terjangkau dari segi ekonomis. Walaupun demikian, tak jarang orangtua pasien enggan membawa anaknya utk mendapatkan vaksinasi MMR dengan alasan takut anak jadi terlambat bicara atau autisme. Untuk dapat mengerti lebih jauh apakah alasan ketakutan ini merupakan mitos atau fakta kita akan mempelajari lebih lanjut tentang latar belakang vaksinasi MMR.

 

Ketakutan terhadap Imunisasi MMR

Tidak lama setelah vaksinasi MMR diperkenalkan ke publik, kesalahpahaman bahwa penggunaan MMR akan memicu perilaku autis dan regresi bicara mulai beredar. Pada bulan Februari 1998, seorang dokter yang juga adalah aktivis anti-vaksin Andrew Wakefield menerbitkan sebuah artikel yang menghubungkan imunisasi dari vaksin MMR dengan perkembangan penyakit autisme pada anak-anak di Lancet, sebuah jurnal kedokteran terkemuka, Pada waktu itu, hal ini menyebabkan kekhawatiran yang cukup besar dan memicu konflik di antara kelompok orangtua dan pembuat kebijakan mengenai risiko kesehatan dari vaksinasi MMR. Namun karena studi yang sifatnya hanya pengamatan pada 12 orang anak ini, sangat kecil jumlah subyek penelitiannya, maka dianggap tidak cukup kuat untuk menarik kesimpulan yang dimaksud. Karya ilmiah ini dikecam tak hanya dokter-dokter, namun juga para ilmuwan. Artikel ini lalu ditarik dari Lancet karena tidak berbasis cukup kuat dan menimbulkan keresahan di masyarakat.

 

Teori Wakefield ini juga didiskreditkan oleh tim ilmuwan yang berafiliasi dengan American Academy of Pediatrics (AAP- Ikatan Dokter Anak Amerika).Para ilmuwan ini menunjukkan beberapa kekurangan dalam penelitian yang disebutkan di atas. Pertama, Wakefield mengklaim bahwa peradangan usus yang dipicu oleh vaksin telah menyebabkan perkembangan autisme, padahal pada kenyataannya, gejala usus diamati setelah, bukan sebelumnya, gejala autisme pada kelompok ujinya. Lalu, diagnosis autisme kongenital di Inggris baru saja dimulai ketika makalah ini ditulis, yaitu pada saat yang sama vaksin MMR diberikan kepada sekitar 90% populasi. Sehingga pengamatan yang ada belum cukup untuk menilai bahwa anak yang menderita autisme ini berhubungan dengan MMR. Studi Wakefield gagal menyebutkan apakah anak-anak ini telah didiagnosis autisme sebelum atau setelah menerima vaksin MMR, sehingga teori Wakefield akhirnya ditolak oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

Karena ulahnya, Dr. Wakefield yang bahkan bukan seorang dokter anak ini pun dikeluarkan dari Ikatan Kedokteran di Negaranya (Inggris), namun artikelnya yang telah membuat resah para orangtua ini seolah-olah membangkitkan mitos yang tak kunjung mudah diatasi hingga saat ini. Masih banyak orangtua yang mempercayai informasi dari mulut ke mulut dan tidak mempelajari sumber yang tepat.

 

Fakta dari MMR dan Autisme

Sampai saat ini sudah ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa MMR menyebabkan autisme atau terlambat bicara adalah mitos, dan tidak berbasis ilmiah. Tidak ada bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan hubungan kuat antara vaksin MMR dan autisme.

 

Sebuah penelitian di Denmark yang dilakukan pada tahun 2002 oleh ahli epidemiologi Dr. Kreesten Meldgaard Madsen membuktikan bahwa risiko perkembangan autisme pada anak-anak yang divaksinasi dan yang tidak divaksinasi adalah sama. Penulis makalah penelitian ini menemukan bahwa tidak ada peningkatan risiko gangguan spektrum autisme di antara anak-anak yang divaksinasi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak divaksinasi. Selain itu, mereka membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara perkembangan autisme dan usia saat vaksinasi dilakukan (Tanne, 2002).

 

Studi lain yang dilakukan oleh peneliti Luke Taylor menyangkal korelasi antara vaksin MMR dan autisme dengan merangkum bukti yang tersedia dari studi kasus-kontrol (studi yang mengidentifikasi dan membandingkan dua kelompok yang ada dengan hasil yang berbeda). Lima studi kasus-kontrol yang melibatkan lebih dari 1.200.000 anak-anak dimasukkan dalam analisis ini, dan data menunjukkan tidak ada hubungan antara vaksinasi MMR dan autisme atau gangguan spektrum autisme. Demikian pula, data kasus-kontrol tidak menemukan bukti peningkatan risiko autisme setelah terpapar komponen vaksin MMR, seperti merkuri atau thimerosal (Taylor, Swerdfeger, & Eslick, 2004).

 

Akhirnya, sebuah penelitian terkini terhadap 650.000 anak yang baru dilakukan 3 tahun yang lalu telah mengkonfirmasi sekali lagi bahwa vaksin MMR tidak meningkatkan risiko perkembangan autisme. Dari semua anak, total 6.500 anak yang divaksinasi dan tidak divaksinasi didiagnosis autisme. Anak-anak yang diberikan vaksin MMR tidak mungkin lagi dinyatakan autis dibandingkan dengan anak yang tidak menerima vaksin (NewScientist, 2019).

 

Semua studi ini menambahkan bukti yang sudah sangat banyak bahwa vaksinasi aman dan penting untuk memberikan perlindungan terhadap banyak penyakit menular. Meskipun demikian, klaim yang tidak dapat diandalkan tentang vaksin terus menyebar, menyebabkan penurunan besar dalam tingkat vaksinasi di seluruh dunia.

 

Akibat dari turunnya cakupan vaksinasi MMR, beberapa negara termasuk Indonesia mengalami peningkatan dalam pelaporan jumlah kasus campak. Campak dapat membunuh satu dari 3.000 anak, bahkan di negara maju sekalipun. Penyakit ini bahkan dapat menyebabkan ensefalitis pada satu dari 2.000 anak dan pneumonia pada satu dari 20 anak. Angka 1 dibanding 2000 atau 3000 adalah sebuah rasio yang kecil, tetapi bila angka 1 itu adalah buah hati yang kita sayangi tentu amat sangat disayangkan, apalagi jika proteksi telah tersedia.

 

Kini tinggalah pilihan kita sebagai orangtua sebagai pengambil keputusan, apakah kita sebaiknya mempercayai mitos atau fakta dalam mengambil langkah tepat demi anak-anak tercinta.

 

Greta Lee & Mirari Judio

(Greta Lee - Siswa SMA ACS Jakarta (International School))
(Mirari Judio - Dokter Spesialis Anak, pemerhati Tumbuh Kembang anak)

Cookie membantu kami memberikan layanan kami. Dengan menggunakan layanan kami, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.