- Hermina Pekalongan<\/a><\/li>
- 29 Juli 2021<\/li><\/ul><\/div>
Kenali Gejala Happy Hypoxia<\/a><\/h3>
Happy Hypoksia sering kali muncul dan dikaitkan dengan infeksi virus corona yang sedang mewabah di seluruh dunia, dan menjadi salah satu penyebab kematian yang sering luput diwaspadai oleh pasien COVID-19. Meski memiliki nama yang mengesankan rasa bahagia, kondisi happy hypoxia perlu diwaspadai karena berbahaya bagi penderita COVID-19. \n\n \n\n COVID-19 dapat menimbulkan berbagai gejala, seperti demam, batuk, dan pilek. Pada kasus yang parah, penyakit ini bisa menyebabkan sesak napas dan penurunan kesadaran akibat kekurangan oksigen. \n\n \n\n Di sisi lain, ada pula penderita COVID-19 yang tidak merasakan gejala apa pun. Meskipun terkadang tidak bergejala, ternyata infeksi virus corona bisa saja membuat tubuh penderitanya mengalami penurunan oksigen secara perlahan. \n\n \n\n Fenomena berkurangnya jumlah oksigen di dalam tubuh tanpa menimbulkan gejala inilah yang dikenal dengan sebutan happy hypoxia. \n\n \n\n \n\n Hipoksemia dan Happy Hypoxia \n\n \n\n Normalnya, kadar oksigen dalam darah (saturasi oksigen) ada pada rentang 95–100% atau sekitar 75–100 mmHg. Ketika kadar oksigen di dalam darah berkurang hingga di bawah angka tersebut, tubuh akan mengalami kekurangan oksigen. Kondisi ini disebut hipoksemia atau hipoksia. \n\n \n\n Ada banyak hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami hipoksia, di antaranya: \n\n \n Kelainan jantung \n Gangguan fungsi paru-paru, misalnya asma, emfisema,bronkitis, pneumonia, PPOK, dan kanker paru-paru \n Gangguan pernapasan saat tidur atau sleep apnea \n Anemia \n Selain itu, hipoksia juga dapat terjadi pada orang yang menyelam hingga kedalaman tertentu atau berada di ketinggian tertentu \n \n\n \n\n Hipoksia yang tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan dan organ tubuh, seperti otak dan jantung. Ketika hal ini terjadi, fungsi organ akan terganggu sehingga menimbulkan berbagai masalah kesehatan. \n\n \n\n Sebagian besar penderita yang mengalami hipoksia akan mengalami gejala sesak napas, lemas, kulit pucat, dan kuku serta bibir tampak kebiruan. Jika sudah parah, hipoksia bisa membuat penderitanya mengalami penurunan kesadaran atau bahkan koma. \n\n \n\n Meski demikian, pada kasus tertentu, hipoksia bisa terjadi tanpa gejala apa pun dan baru terdeteksi ketika penderita menjalani pemeriksaan darah atau pemeriksaan saturasi oksigen dengan alat yang disebut pulse oximeter. Kondisi yang dinamakan silent hypoxia atau happy hypoxia ini diduga dapat terjadi pada penderita COVID-19. \n\n \n\n \n\n Penyebab Terjadinya Happy Hypoxia \n\n \n\n Ada teori yang menyebutkan bahwa happy hypoxia terjadi akibat peradangan pada jaringan paru-paru yang disebabkan infeksi virus corona. Ada pula yang menyebutkan bahwa hal ini terjadi karena masalah pada sistem saraf yang mengatur fungsi pernapasan dan kadar oksigen dalam darah. \n\n \n\n Meskipun penyebab terjadinya happy hypoxia pada penderita COVID-19 belum dapat dipastikan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa happy hypoxia dapat meningkatkan risiko kematian pada penderita COVID-19. \n\n \n\n Oleh karena itu, setiap orang yang dinyatakan positif COVID-19 tetap perlu waspada meski tidak mengalami gejala apa pun. \n\n \n\n \n\n Penanganan Happy Hypoxia \n\n \n\n Kondisi hipoksia, baik yang yang bergejala maupun tidak, perlu segera ditangani oleh dokter. Untuk menangani hipoksia, dokter akan memberikan terapi oksigen serta menangani penyakit atau kondisi yang menyebabkan penurunan kadar oksigen tersebut. \n\n \n\n Pada penderita hipoksia yang masih dapat bernapas, hipoksia bisa ditangani dengan pemberian oksigen, baik menggunakan tabung maupun konsentrator oksigen kemudian disalurkan menggunakan selang atau masker. Sedangkan pada penderita yang sudah mengalami penurunan kesadaran atau tidak dapat bernapas, dokter akan memberikan oksigen melalui ventilator dan melakukan perawatan di ruang ICU. \n\n \n\n Jika anda merasakan gejala COVID-19 atau pernah kontak dengan orang yang positif COVID-19, sebaiknya segera periksakan diri ke dokter. Bila Anda dinyatakan terinfeksi virus corona, tetaplah waspada meskipun tidak mengalami gejala, karena bisa saja terjadi kondisi happy hypoxia ini. \n\n \n\n Bila Anda masih memiliki pertanyaan seputar COVID-19 atau masalah kesehatan lainnya, Anda bisa konsultasi melalui telemedicine “Halo Hermina“ dengan dokter di RS Hermina. Melalui aplikasi Halo Hermina, Anda juga bisa membuat janji konsultasi dengan dokter di rumah sakit bila memang membutuhkan pemeriksaan langsung. \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Galaxy<\/a><\/li>
- 17 Juli 2021<\/li><\/ul><\/div>
Ingin Melahirkan Normal Setelah Caesar?<\/a><\/h3>
Jika sebelumnya Anda melahirkan dengan operasi caesar dan kemudian hamil lagi, Anda mungkin bertanya-tanya bolehkah melahirkan normal setelah caesar? \n\n \n\n Dalam istilah medis, prosedur melahirkan normal setelah caesar adalah Vaginal Birth After Caesarean (VBAC). VBAC adalah proses melahirkan yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh beberapa calon ibu. Bagi yang termasuk memenuhi syarat pun, ada beberapa faktor yang harus Anda perhatikan sebelum memutuskan melakukannya. \n\n \n\n \n\n Apa itu VBAC? \n\n \n\n VBAC adalah prosedur melahirkan normal setelah pernah menjalani operasi caesar atau c-section. Pada umumnya, ibu yang pernah melahirkan lewat operasi caesar lebih direkomendasikan untuk menjalani operasi caesar lagi jika kembali hamil. \n\n \n\n Meski begitu, American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) melaporkan bahwa ibu boleh saja melahirkan normal setelah caesar asal memenuhi persyaratan dan mendapat persetujuan dokter. Jika dibolehkan dan berhasil, melahirkan bayi secara normal dapat memberi banyak keuntungan, di antaranya: \n\n \n Tidak memerlukan operasi lagi \n Pemulihan lebih cepat \n Lebih sedikit kehilangan darah \n Tidak akan menderita cedera pada kandung kemih atau usus \n Mengurangi kemungkinan infeksi \n Memiliki lebih sedikit masalah dengan persalinan kelak \n Mengurangi biaya persalinan \n Risiko bayi mengalami masalah pernapasan rendah \n Tidak menimbulkan jaringan parut pada rahim \n \n\n \n\n Prosedur VBAC hanya bisa dilakukan jika ibu akan melahirkan normal di rumah sakit atau bidan. Jika Anda ingin melahirkan secara normal pasca operasi caesar, Anda harus memilih rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap dan tenaga yang profesional. \n\n \n\n \n\n Siapa saja yang boleh melahirkan lewat VBAC? \n\n Beberapa ibu hamil yang diperbolehkan melahirkan normal setelah caesar atau VBAC adalah: \n\n \n Ibu yang memiliki bekas sayatan operasi caesar berbentuk garis horizontal \n Sedang mengandung satu bayi dan hanya pernah 1 kali operasi caesar sebelumnya (tetapi bukan dengan sayatan vertikal) dengan jarak >2 tahun \n Sedang hamil bayi kembar dan pernah operasi caesar sebelumnya, tetapi bukan dengan sayatan vertikal \n Persalinan terjadi spontan \n Tulang panggul Anda berukuran cukup besar \n Belum pernah melakukan operasi mayor pada rahim, seperti miomektomi \n Belum pernah mengalami rahim robek (ruptur uteri) di kehamilan sebelumnya. \n Tidak memiliki kondisi medis yang membuat persalinan melalui vagina menjadi berisiko, misalnya plasenta previa atau fibroid. \n \n\n \n\n \n\n Ibu hamil yang tidak disarankan melahirkan normal setelah caesar (VBAC) \n\n \n\n Keamanan Anda dan janin tentu menjadi hal utama yang harus dipertimbangkan. Agar dapat melahirkan secara normal setelah caesar, ibu dan janin harus dipastikan sehat dan mampu menjalani prosedurnya. Meski melahirkan normal pasca caesar dapat dilakukan, tapi VBAC adalah prosedur yang berisiko tinggi sehingga tidak semua wanita aman untuk melakukannya. Maka dari itu, selain mempertimbangkan bentuk bekas luka operasi, dokter pada umumnya tidak menganjurkan ibu hamil menjalani prosedur VBAC jika memiliki kondisi berikut: \n\n \n Preeklampsia (hipertensi selama kehamilan) \n Obesitas (indeks massa tubuh mencapai 30 atau lebih) \n Janin dengan berat >4 kg \n Melakukan operasi caesar dalam 19 bulan terakhir \n Pernah melakukan dua operasi caesar sebelumnya berturut-turut. \n Hamil kembar tiga atau lebih \n Persalinan macet \n Kehamilan yang melewati 40 minggu \n \n\n \n\n \n\n Risiko melahirkan normal setelah caesar \n\n \n\n Hal pertama yang harus Anda diskusikan bersama dokter sebelum memutuskan melahirkan normal pasca caesar adalah mengenai jenis bekas luka operasi caesar pada rahim.Jika bekas luka caesar yang Anda miliki melintang dan rendah, dokter mungkin akan mengizinkan untuk mencoba melahirkan secara normal. Tentu saja juga dengan pertimbangan kondisi Anda dan janin sehat. Sementara jika bekas luka caesar vertikal, Anda umumnya tidak dapat mencoba melahirkan secara normal. Ada risiko yang sangat tinggi bekas luka akan robek dan terbuka kembali ketika Anda mencoba melahirkan normal. Kondisi ini tentunya dapat membahayakan Anda maupun janin.Selain kemungkinan bekas luka caesar robek, ada kemungkinan risiko lain yang dapat terjadi jika melahirkan normal pasca caesar. Berikut risiko melahirkan normal pascacaesar yang perlu diwaspadai: \n\n \n Rahim robek. Jika rahim robek selama persalinan normal, maka operasi caesar darurat diperlukan untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa, seperti halnya pendarahan hebat pada ibu \n Jika persalinan tidak berjalan lancar, risiko terjadinya komplikasi persalinan akan semakin tinggi, seperti perdarahan dan infeksi \n \n\n \n\n Risiko masalah ini hanya terjadi kurang dari 1 persen dari seluruh kasus VBAC. Namun, Anda harus tetap berhati-hati karena melahirkan normal setelah operasi caesar tetap mungkin berpotensi membahayakan diri dan janin. Perlu Anda ketahui, sekitar 70 persen wanita berhasil melahirkan bayinya secara normal pasca operasi. Sementara, 30 persen lainnya memerlukan operasi caesar lagi karena adanya masalah yang muncul. \n\n \n\n \n\n Kapan waktu yang tepat untuk melahirkan normal setelah caesar? \n\n \n\n Jarak waktu ideal yang dianjurkan dokter untuk seorang ibu bisa melahirkan normal setelah caesar atau VBAC adalah minimal 2 tahun dari persalinan awal yang dilakukan dengan operasi caesar. Jarak ini direkomendasikan juga untuk waktu persalinan kembali setelah caesar maupun melahirkan normal. Jika ibu hamil setelah 1 tahun caesar atau kehamilan terjadi dalam jarak kurang dari 2 tahun, risiko kemungkinan terjadinya komplikasi akan semakin tinggi. Salah satu risiko VBAC yang paling fatal adalah ruptur uteri. \n\n \n\n \n\n Tips agar bisa melahirkan normal setelah caesar \n\n \n\n Ketika dinyatakan hamil kembali, sebagian ibu mungin ingin mencoba melahirkan normal setelah sebelumnya melakukan operasi caesar. Mulailah membicarakan hal tersebut pada dokter di kunjungan prenatal pertama Anda. Diskusikan segala kekhawatiran dan keinginan Anda mengenai melahirkan secara normal ini. Pastikan dokter memiliki riwayat medis lengkap Anda, terutama catatan operasi caesar sebelumnya. Dokter akan menggunakan catatan riwayat medis Anda untuk mempertimbangkan kemungkinan berhasilnya melahirkan normal pasca caesar. Selalu konsultasikan pada dokter mengenai risiko Anda melakukan VBAC. Jika Anda diperboleh melakukan persalinan normal oleh dokter, maka lakukanlah hal-hal berikut sebagai bentuk persiapan Anda untuk melahirkan normal pasca operasi: \n\n \n Mempelajari tentang Vaginal Birth After Cesarean (VBAC). Tanyakan pada dokter dan cari tahu informasi mengenai VBAC dari berbagai referensi terpercaya \n Cari rumah sakit yang dapat melakukan operasi caesar darurat. Ini sebagai bentuk antisipasi jika terjadi masalah saat persalinan \n Menjaga kehamilan dengan melakukan gaya hidup sehat. Mengonsumsi makanan yang bernutrisi dan olahraga ringan dapat membantu menciptakan kehamilan yang sehat \n Hindari stres. Stres dapat memicu masalah pada kehamilan \n \n\n \n\n \n\n Sebelum memutuskan untuk melahirkan secara normal pasca caesar, konsultasikan terlebih dahulu pada dokter. Jangan sampai Anda keliru karena dapat membahayakan Anda maupun janin. .Jika ingin berkonsultasi langsung pada dokter atau ingin meminta tips agar bisa melahirkan normal setelah caesar, Anda bisa langsung datang ke RS Hermina Galaxy ya. Dokter spesialis Obsgyn di RS Hermina Galaxy juga melayani konsultasi online. \n\n \n\n \n\n Pendaftaran konsultasi Online ke dokter spesialis Obsgyn klik disini \n\n Untuk pendaftaran ke dokter spesialis khususnya dokter spesialis Obsgyn, silahkan melakukan pendaftaran online melalui: \n1. Call Center: 1500 488 \n2. Mobile apps: PT. Medikaloka Hermina Tbk (tersedia untuk IOS download disini dan Android download disini) \n3. Website: www.herminahospitals.com \n \nSehat bersama RS Hermina Galaxy \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Mekarsari<\/a><\/li>
- 28 Juni 2021<\/li><\/ul><\/div>
Oximeter untuk Isolasi Mandiri <\/a><\/h3>
Oximeter jadi alat yang direkomendasikan WHO untuk dimiliki pasien COVID-19 saat isolasi mandiri. Apa alasannya? \n\n \n\n Sebelum pandemi COVID-19 melanda, mungkin istilah pulse oximeter terdengar asing di kalangan awam. Sejak pandemi berlangsung setahun, oximeter justru jadi peralatan isolasi mandiri yang penting. \n\n \n\n Baru-baru ini, organisasi kesehatan dunia, WHO, menyarankan pasien virus corona memiliki alat pulse oximeter di rumah. Terutama untuk pasien yang melakukan karantina mandiri bersama keluarga di rumah. Kenapa alat yang satu itu dianggap penting? \n\n \n\n Itu karena pulse oximeter berguna untuk memantau dan mendeteksi jumlah kadar oksigen di dalam darah. Untuk pasien COVID-19, manfaat oximeter bisa mendeteksi ada atau tidaknya happy hypoxia. Jadi, penderita yang melakukan isolasi mandiri di rumah bisa memonitor sendiri, \n\n \n\n Normalnya, saturasi oksigen orang yang sehat ada di angka 95-100 persen atau 75-100 mmHg. Apabila kadar oksigen kurang dari angka tersebut, berarti ada yang tidak beres pada tubuh, salah satunya ulah infeksi virus SARS-CoV-2. Kekurangan oksigen pada tubuh sangat berbahaya. Jaringan tubuh dapat rusak, terutama pada jantung dan otak. \n\n \n\n Pasien pun bisa mengalami lemas, pucat kebiruan, sesak napas, lalu hilang kesadaran. Kondisi dengan gejala seperti itu dinamakan hipoksia. Bedanya dengan happy hypoxia, kadar oksigen penderita menurun tanpa gejala. Hal ini justru lebih berbahaya lagi. Karena, secara mendadak pasien langsung kehilangan kesadaran. \n\n \n\n Kondisi yang meningkatkan angka kematian pasien COVID-19 ini hanya bisa terdeteksi lewat pulse oximeter. \n\n \n\n Namun, tidak semua penderita COVID-19 mengalami penurunan kadar oksigen. Kendati begitu, alat ini tetap penting untuk mendeteksi happy hypoxia, khususnya bagi pasien COVID-19 tanpa gejala atau bergejala ringan. \n\n \n\n Penggunaan oximeter dapat mencegah pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi terlambat (terlanjur tidak sadarkan diri). Jadi, pasien masih bisa ditangani dan angka kematian dapat ditekan. \n\n \n\n \n\n Hal yang Harus Diperhatikan saat Menggunakan Oximeter \n\n \n\n Ada hal-hal yang wajib diperhatikan ketika Anda menjadikan oximeter sebagai peralatan isolasi mandiri, yaitu: \n\n \n Penggunaan oximeter bagi pasien isolasi mandiri dilakukan sebanyak tiga kali sehari (pagi, siang, dan malam). \n Apabila kadar oksigen menurun dan kurang dari 93 persen, apalagi ditambah gejala sesak napas, segera hubungi petugas kesehatan. \n Sambil menunggu petugas kesehatan, pasien bisa melakukan latihan pernapasan untuk mempertahankan fungsi paru-paru. Pasien bisa melakukan posisi tengkurap untuk menghambat perburukan kondisi. \n Gunakan pulse oximeter dengan teknologi jepit jari. American Journal of Emergency Medicine melaporkan, keakuratan oximeter pada smartwatch atau aplikasi ponsel termasuk rendah. \n \n\n \n\n \n\n Cara kerja pulse oximeter jepit jari yaitu: \n\n \n Alat yang sudah dipasang di ujung jari akan memancarkan cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda. \n Cahaya akan mendeteksi banyaknya hemoglobin. \n Cahaya akan ditangkap sensor dan muncullah persentasenya. \n Hindari membeli oximeter di toko online yang kurang jelas dan tidak resmi. Bandingkan alat yang satu dengan lainnya agar tidak terkecoh. \n Potong kuku dan hindari menggunakan kuteks apalagi yang berwarna gelap. Hal ini dapat mengganggu sensor alat. \n Hindari bergerak berlebihan karena bisa mengganggu pemasangan alat. Hasil yang diberikan bisa tidak akurat. \n \n\n \n\n \n\n Tidak Punya Oximeter, Adakah Alternatifnya? \n\n \n\n Saat isolasi mandiri tidak memiliki Oximeter? Sayangnya, tidak ada alat untuk menggantikan pulse oximeter di rumah. Kalau di rumah sakit, mungkin bisa dilakukan cek analisis gas darah. Caranya, dengan mengukur kadar oksigen, karbon dioksida, dan tingkat pH-nya \n\n \n\n Bila Anda tidak bisa membeli pulse oximeter, untuk memerhatikan tanda-tanda yang muncul berikut ini: \n\n \n Napas mulai berat dan tidak nyaman. \n Jantung mulai berdebar-debar. \n Kuku dan bibir kebiruan. \n Lemas, hilang konsentrasi, dan sesak napas. \n \n\n \n\n \n\n Bila ada satu atau lebih gejala yang dirasakan, lebih baik Sahabat Hermina langsung ke Rumah Sakit Hermina terdekat agar bisa ditangani lebih lanjut oleh dokter. \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Pekalongan<\/a><\/li>
- 11 Juni 2021<\/li><\/ul><\/div>
Kenali Gejala Nefrotik pada Anak<\/a><\/h3>
Penyakit ginjal pada anak mungkin masih terdengar asing, padahal tak sedikit anak-anak yang menderita penyakit ini. Apabila tidak segera diobati, kondisi ini bisa menyebabkan berbagai komplikasi yang berbahaya bagi kesehatan dan tumbuh kembangnya. \n\n Penyakit ginjal pada anak adalah kondisi ketika organ ginjal anak mengalami kerusakan atau penurunan fungsi. Ada berbagai hal yang bisa menyebabkan anak mengalami penyakit ginjal, mulai dari kelainan bawaan, infeksi, hingga efek samping obat-obatan tertentu atau keracunan. \n\n \n\n Jenis Penyakit Ginjal pada Anak dan Penyebabnya \n\n Berdasarkan kondisinya, penyakit ginjal pada anak terbagi menjadi dua jenis, yaitu: \n\n 1. Penyakit ginjal akut \n\n Penyakit ginjal ini dikatakan akut apabila kerusakan atau penurunan fungsi ginjal terjadi secara mendadak dan tidak melebihi 3 bulan. Penyakit ginjal akut pada anak yang segera diobati umumnya bisa disembuhkan dan tidak menimbulkan kerusakan permanen pada ginjal. \n\n Namun jika penanganannya terlambat atau terjadi kerusakan hingga melebihi 3 bulan, maka ginjal anak bisa rusak lebih parah dan menyebabkan kerusakan menetap pada ginjal. \n\n Berikut ini adalah beberapa faktor yang bisa menyebabkan seorang anak mengalami penyakit ginjal akut: \n\n \n Kondisi yang membuat aliran darah ke ginjal berkurang atau berhenti secara tiba-tiba, misalnya kehilangan banyak darah akibat cedera kecelakaan, perdarahan saat operasi, luka bakar parah, dan dehidrasi berat. \n Infeksi, misalnya infeksi saluran kemih dan sepsis. \n Paparan racun dan bahan kimia, seperti merkuri, arsenik, dan timbal. \n Efek samping obat-obatan tertentu, terutama ada obat-obatan yang harus dikonsumsi dalam jangka panjang atau dalam dosis tinggi. \n Kondisi yang menghambat pasokan oksigen dan darah ke ginjal, misalnya henti jantung dan hipoksia. \n Peradangan pada ginjal, misalnya pada sindrom nefrotik dan glomelurunefritis. \n \n\n \n\n 2. Penyakit ginjal kronis \n\n Penyakit ginjal pada anak dikatakan kronis apabila penyakit ini berlangsung selama 3 bulan atau lebih. Kerusakan ginjal pada penyakit ginjal kronis bisa terjadi terjadi secara perlahan atau diawali dari penyakit ginjal akut. Kebanyakan kasus penyakit ginjal kronis menyebabkan kerusakan ginjal yang permanen. \n\n Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan anak mengalami penyakit ginjal kronis, di antaranya: \n\n \n Kelainan genetik, misalnya sistinosis, yaitu kelainan genetik langka yang menyebabkan kerusakan sel ginjal dan sindrom Alport, yaitu kelainan genetik yang menyebabkan gangguan pembentukan organ ginjal, telinga, dan mata. \n Cacat lahir, misalnya anak terlahir dengan satu ginjal atau terlahir dengan dua ginjal, namun hanya satu ginjal yang berfungsi. Penyakit ginjal juga dapat dialami oleh anak yang terlahir dengan ginjal yang letaknya tidak pada tempatnya. \n Penyumbatan di saluran kemih yang bersifat menahun. \n Penyakit kronis, seperti diabetes, lupus, dan tekanan darah tinggi yang tidak diobati. \n Riwayat penyakit ginjal akut, misalnya sindrom nefrotik dan sindrom nefritis, yang tidak membaik atau terlambat ditangani. \n Terlahir dengan berat lahir rendah atau prematur. \n \n\n \n\n Gejala Penyakit Ginjal pada Anak \n\n Pada tahap awal, penyakit ginjal pada anak sering kali tidak menunjukkan gejala. Gejala baru mulai timbul ketika fungsi ginjal sudah mulai menurun atau rusak. Ketika ginjalnya sudah mengalami gangguan, anak dapat menunjukkan beberapa gejala berikut ini: \n\n \n Bengkak di bagian wajah, tangan, dan kaki. \n Tidak nafsu makan dan sering muntah-muntah. \n Kelelahan dan tampak pucat. \n Merasa nyeri atau tampak rewel setiap buang air kecil. \n Demam. \n Frekuensi buang air kecil menjadi lebih jarang. \n Pipis berdarah \n Sering mengalami sakit kepala. \n Sesak napas. \n \n\n Jika anak mengalami gejala di atas, segeralah periksakan ke dokter anak untuk mendapatkan penanganan. \n\n Dalam menentukan diagnosis dan mencari penyebab penyakit ginjal pada anak, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik disertai penunjang, seperti tes darah, tes urine, pemeriksaan radiologis (seperti USG ginjal dan Rontgen ginjal), hingga biopsi ginjal. \n\n \n\n Penanganan dan Pencegahan Penyakit Ginjal pada Anak \n\n Penanganan penyakit ginjal pada anak tergantung pada penyebabnya. Misalnya, penyakit ginjal yang disebabkan oleh tekanan darah tinggi harus diatasi dengan menurunkan tekanan darah. Jika disebabkan oleh infeksi, maka dokter akan mengatasi infeksi yang menyebabkan penyakit ginjal dengan obat antibotik. \n\n Untuk penyakit ginjal yang disebabkan oleh cacat bawaan lahir, dokter mungkin akan menyarankan langkah operasi untuk memperbaiki bagian ginjal yang cacat atau tidak berfungi dengan baik. \n\n Semakin cepat pengobatan didapatkan, maka semakin baik peluang untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal permanen pada anak. Jika terlambat ditangani, kondisi ini dapat mengakibatkan gagal ginjal. \n\n \n\n Jika anak sudah mengalami gagal ginjal, penanganan yang akan diberikan oleh dokter meliputi: \n\n \n Obat-obatan dan diet khusus untuk penyakit ginjal. \n Cuci darah \n Transfusi darah, jika gagal ginjal sudah menyebabkan anemia. \n Transplatasi Ginjal. \n \n\n Pilihan metode penanganan penyakit ginjal pada anak akan disesuaikan dengan penyebab dan seberapa parah kondisi anak saat dirawat. \n\n \n\n Dengan memahami faktor risiko dan mengenali gejala penyakit ginjal pada anak, maka penyakit ini bisa segera diperiksakan ke dokter dan diobati secepatnya. Jika anak mendapatkan pengobatan sejak dini, maka komplikasi dapat dicegah dan tumbuh kembang anak bisa tetap berjalan dengan baik. \n\n Sebaliknya, jika terlambat ditangani, penyakit ginjal pada anak dapat menimbulkan komplikasi berupa hambatan tumbuh kembang, anemia, kerusakan ginjal permanen, hingga kematian. Oleh karena itu, jangan tunda untuk memeriksakan anak ke dokter jika mendapati adanya beberapa tanda dan gejala penyakit ginjal pada anak. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Pekalongan<\/a><\/li>
- 31 Mei 2021<\/li><\/ul><\/div>
Penyebab Kuping Berdengung<\/a><\/h3>
Pernahkah Anda mengalami telinga berdenging? Di dunia medis, kondisi telinga berdenging ini disebut dengan tinnitus. Kondisi ini bukanlah suatu penyakit, melainkan gejala masalah kesehatan lain. Tinnitus biasanya disebabkan oleh kerusakan pada rambut-rambut kecil di telinga bagian dalam. \n\n \n\n Rusaknya rambut-rambut ini dapat mengubah sinyal yang akan dikirimkan ke otak. Tinnitus bisa bersifat sementara atau bisa seumur hidup. Lantas, kondisi apa saja yang bisa membuat seseorang mengalami tinnitus? \n\n \n\n \n\n Penyebab Telinga Berdenging \n\n \n\n Melansir dari WebMD, telinga berdenging bisa disebabkan oleh faktor-faktor berikut: \n\n \n\n 1. Penambahan Usia \n\n Pada umumnya, kualitas pendengaran akan semakin menurun seiring bertambahnya usia. Penurunan fungsi pendengaran ini biasanya dimulai sekitar usia 60 dan dapat mempengaruhi kedua telinga. Intinya, tinnitus lebih mungkin dialami oleh lansia daripada orang yang lebih muda. \n\n \n\n 2. Suara Keras \n\n Suara keras juga menjadi penyebab utama tinnitus. Tinnitus bisa muncul ketika Anda sering mendengar suara keras setiap hari selama bertahun-tahun atau sesuatu yang hanya terjadi sekali, yakni seperti saat berada di konser atau acara-acara tertentu. Suara keras dapat mempengaruhi satu atau kedua telinga, sehingga menyebabkan gangguan pendengaran dan nyeri. Kerusakan yang dialami pun bisa bersifat permanen atau sementara. \n\n \n\n 3. Menumpuknya Kotoran di Telinga \n\n Ketika Anda jarang membersihkan telinga dan kotorannya semakin menumpuk, bukan tidak mungkin Anda juga bisa mengalami telinga berdenging atau gangguan pendengaran. Hindari untuk menghilangkan kotoran sendiri tanpa alat-alat yang memadai. Sebaiknya kunjungi dokter THT untuk membantu membersihkan kotoran yang telah menumpuk di telinga ini. \n\n \n\n 4. Penggunaan Obat-Obatan Tertentu \n\n Penggunaan obat-obatan ternyata juga bisa memicu tinnitus. Beberapa contoh obat-obatan yang bisa memicu tinnitus contohnya aspirin, diuretik, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), obat berbasis kina, antibiotik tertentu, antidepresan, dan obat kanker. Biasanya semakin kuat dosisnya, semakin besar kemungkinan Anda mengalami masalah pendengaran. Sering kali gejala tinnitus hilang ketika Anda menghentikan penggunaan obat-obatan tersebut. \n\n \n\n 5. Infeksi Telinga dan Sinus \n\n Tinnitus kerap muncul saat seseorang terserang flu. Itu bisa jadi karena infeksi telinga atau sinus yang memengaruhi pendengaran dan meningkatkan tekanan pada sinus. Jika itu penyebabnya, seharusnya tinnitus tidak berlangsung lama. Jika tidak membaik setelah seminggu atau lebih, segera temui dokter. \n\n \n\n 6. Masalah pada Rahang \n\n Masalah dengan rahang atau sendi temporomandibular dapat menyebabkan tinnitus. Kondisi ini biasanya ditandai dengan nyeri pada sendi saat mengunyah atau berbicara. Nyeri ini muncul karena sendi berbagi beberapa saraf dan ligamen dengan telinga tengah. Dokter gigi dapat mengobati gangguan rahang ini dan membantu anda untuk mencegah telinga berdenging semakin parah. \n\n \n\n 7. Masalah Tekanan Darah \n\n Tekanan darah tinggi dan hal-hal lain pemicu tekanan darah, seperti stres, alkohol, dan kafein bisa memicu tinnitus. Ini karena, pembuluh darah di dekat telinga tengah dan dalam menjadi tidak terlalu elastis saat tekanan darah meningkat. \n\n \n\n 8. Mengidap Penyakit \n\n Gangguan telinga bagian dalam yang disebut penyakit Meniere atau cedera kepala dan leher bisa membuat seseorang mengalami tinnitus. Kondisi seperti fibromyalgia dan penyakit Lyme juga dapat memicu telinga berdenging. Dokter dapat membantu Anda untuk mengetahui penyebabnya dan meredakan suaranya. \n\n \n\n Jadi, pastikan untuk rutin memeriksakan diri ke dokter bila mengalami kondisi dan gejala tinnitus yang telah disebutkan di atas sebelum gejala menjadi lebih berat. \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Pekalongan<\/a><\/li>
- 10 Mei 2021<\/li><\/ul><\/div>
Stunting dan Pencegahannya<\/a><\/h3>
Berdasarkan WHO, stunting adalah gangguan tumbuh kembang anak yang disebabkan oleh kekurangan asupan gizi, terserang infeksi, maupun stimulasi yang tak memadai. Stunting dapat dicegah, yaitu dengan cara berikut: \n\n \n\n 1. Memenuhi Kebutuhan Gizi Sejak Hamil \n\n Penuhi gizi sejak masa kehamilan, selalu mengonsumsi makanan sehat, bergizi dan suplemen atas anjuran dokter. Sebaiknya rutin memeriksakan kesehatan kehamilan ke dokter atau bidan. \n\n \n\n 2. Beri ASI Eksklusif sampai Bayi Berusia 6 Bulan \n\n ASI berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro dan makro. Berikan ASI Eksklusif selama enam bulan. Protein whey dan kolostrum pada ASI mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi yang terbilang rentan. \n\n \n\n 3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI Sehat \n\n Berikan Makanan Pendamping/MPASI pada usia 6 bulan ke atas. Pastikan makanan tersebut memenuhi gizi mikro dan makro untuk mencegah stunting. WHO merekomendasikan penambahan nutrisi ke dalam makanan, konsultasikan dengan dokter. \n\n \n\n 4. Terus Pantau Tumbuh Kembang Anak \n\n Pantau tumbuh kembang anak, terutama dari tinggi dan berat badannya. Periksa secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak, untuk mengetahui gejala awal gangguan dan penanganannya. \n\n \n\n 5. Selalu Jaga Kebersihan Lingkungan \n\n Anak-anak sangat rentan penyakit apabila lingkungan sekitarnya kotor. Faktor ini secara tak langsung meningkatkan peluang stunting. \n\n \n\n 6. Vaksinasi agar Anak Tidak Mudah Sakit \n\n Sudah menjadi sebuah keharusan bagi para orangtua untuk berbagi informasi tentang stunting pada lingkungan sekitarnya. Pasalnya, efek jangka panjang dari stunting mampu mengganggu kualitas kecerdasan anak yang berdampak terhadap rendahnya sumber daya manusia Indonesia. \n\n \n\n Ayah dan bunda bisa berdiskusi dengan dokter di Halo Hermina untuk memahami stunting lebih baik. Kemudahan berdiskusi dengan dokter dapat anda rasakan jika memiliki aplikasi Halo Hermina yang bisa anda download di Google Play atau App Store. \n\n \n\n Stunting menunjukkan kekurangan gizi kronis yang terjadi selama periode paling awal pertumbuhan dan perkembangan anak. Tidak hanya tubuh pendek, stunting memiliki banyak dampak buruk untuk anak. Lantas, apa saja penyebab dan dampak dari kondisi ini? \n\n \n\n Pada 2019, survei membuktikan sekitar 30 persen balita Indonesia mengalami stunting. Kondisi ini bisa disebabkan oleh banyak aspek, mulai dari aspek pendidikan hingga ekonomi. Stunting sangat penting untuk dicegah. Hal ini disebabkan oleh dampak stunting yang sulit untuk diperbaiki dan dapat merugikan masa depan anak. \n\n \n\n Penyebab Anak Mengalami Stunting \n\n Status gizi buruk pada ibu hamil dan bayi merupakan faktor utama yang menyebabkan anak balita mengalami stunting. Ada banyak sekali hal-hal yang dapat memicu terjadinya gizi buruk ini. Berikut adalah penyebab gizi buruk pada ibu hamil dan bayi yang masih sering ditemui: \n\n \n\n 1. Pengetahuan ibu yang kurang memadai \n\n Sejak di dalam kandungan, bayi sudah membutuhkan berbagai nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk mencapai ini, ibu harus berada dalam keadaan sehat dan bergizi baik. Jika ibu tidak memiliki pengetahuan akan asupan nutrisi yang baik untuknya dan janin, hal ini akan sulit didapatkan. \n\n \n\n Begitu pula setelah lahir, 1000 hari pertama kehidupan (0-2 tahun) adalah waktu yang sangat krusial untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Pada masa ini, bayi membutuhkan ASI Eksklusif selama 6 bulan dan tambahan makanan pendamping ASI (MPASI) yang berkualitas setelahnya. Oleh karena itu, ibu harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gizi anak. \n\n \n\n Faktor lainnya yang juga dapat memicu stunting adalah jika anak terlahir dengan kondisi sindrom alkohol janin (fetus alcohol syndrome). Kondisi ini disebabkan oleh konsumsi alkohol berlebihan saat hamil yang kemungkinan diawali ketidaktahuan ibu akan larangan terhadap hal ini. \n\n \n\n 2. Infeksi berulang atau kronis \n\n Tubuh mendapatkan energi dari asupan makanan. Penyakit infeksi berulang yang dialami sejak bayi menyebabkan tubuh anak selalu membutuhkan energi lebih untuk melawan penyakit. Jika kebutuhan ini tidak diimbangi dengan asupan yang cukup, anak akan mengalami kekurangan gizi dan akhirnya berujung dengan stunting. \n\n \n\n Terjadinya infeksi sangat erat kaitannya dengan pengetahuan ibu dalam cara menyiapkan makan untuk anak dan sanitasi di tempat tinggal. \n\n \n\n 3. Sanitasi yang buruk \n\n Sulitnya air bersih dan sanitasi yang buruk dapat menyebabkan stunting pada anak. Penggunaan air sumur yang tidak bersih untuk masak atau minum disertai kurangnya ketersediaan kakus merupakan penyebab terbanyak terjadinya infeksi. Kedua hal ini bisa meninggikan risiko anak berulang-ulang menderita diare dan infeksi cacing usus (cacingan). \n\n \n\n 4. Terbatasnya layanan kesehatan \n\n Kenyataannya, masih ada daerah tertinggal di Indonesia yang kekurangan layanan kesehatan. Padahal, selain untuk memberikan perawatan pada anak atau ibu hamil yang sakit, tenaga kesehatan juga dibutuhkan untuk memberi pengetahuan mengenai gizi untuk ibu hamil dan anak di masa awal kehidupannya. \n\n \n\n Dampak Stunting terhadap Kesehatan Anak \n\n Stunting pada anak dapat mempengaruhinya dari ia kecil hingga dewasa. Dalam jangka pendek, stunting pada anak menyebabkan terganggunya perkembangan otak, metabolisme tubuh, dan pertumbuhan fisik. Sekilas, proporsi tubuh anak stunting mungkin terlihat normal. Namun, kenyataannya ia lebih pendek dari anak-anak seusianya. \n\n \n\n Seiring dengan bertambahnya usia anak, stunting dapat menyebabkan berbagai macam masalah, di antaranya: \n\n \n Kecerdasan anak di bawah rata-rata sehingga prestasi belajarnya tidak bisa maksimal. \n Sistem imun tubuh anak tidak baik sehingga anak mudah sakit. \n Anak akan lebih tinggi berisiko menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke, dan kanker. \n \n\n \n\n Dampak buruk stunting yang menghantui hingga usia tua membuat kondisi ini sangat penting untuk dicegah. Gizi yang baik dan tubuh yang sehat merupakan kunci dari pencegahan stunting. Berikut hal-hal yang harus diingat untuk mencegah stunting: \n\n \n\n \n Mengonsumsi makanan dengan kandungan nutrisi yang dibutuhkan selama hamil dan selama menyusui. \n Memberikan nutrisi yang baik kepada Si Kecil, seperti memberikan ASI Eksklusif dan nutrisi penting lainnya seiring pertambahan ASI. \n Rutin memeriksakan kehamilan serta pertumbuhan dan perkembangan anak setelah lahir. \n Menerapkan pola hidup bersih dan sehat, terutama mencuci tangan sebelum makan, serta memiliki sanitasi yang bersih di lingkungan rumah. \n \n\n \n\n Menghindari terjadinya stunting memang memerlukan ketekunan dan usaha yang menyeluruh dari semua pihak. Ingat, tanggung jawab ini bukan hanya milik para ibu saja, tetapi juga milik seluruh anggota keluarga. \n\n \n\n Apabila Anda masih ada kebingungan mengenai pencegahan stunting atau sumber gizi yang baik untuk ibu hamil dan anak, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter. \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Pekalongan<\/a><\/li>
- 28 April 2021<\/li><\/ul><\/div>
Dampak Anemia pada Anak dan Remaja<\/a><\/h3>
Tahukah Sahabat Hermina bahwa 23% remaja perempuan dan 12% remaja laki-laki di Indonesia mengalami anemia. Dampak umum anemia adalah penurunan imunitas, penurunan konsentrasi, penurunan prestasi belajar, penurunan kebugaran dan produktivitas. dan pada remaja putri terutama. \n\n \n\n Akan tetapi, orangtua tidak perlu khawatir, karena anemia umumnya mudah diobati dengan konsumsi makanan sehat dan pemberian suplemen. Selain itu, mengonsumsi makanan yang mengandung asam folat, vitamin A dan C, zat besi dan pemberian tablet tambah darah dapat membantu mengurangi anemia. Anemia bisa disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari kurangnya zat besi atau perdarahan saat menstruasi. \n\n \n\n \n\n Berbagai Penyebab Anemia pada Remaja \n\n \n\n Meski mudah diobati, orangtua tetap harus tahu apa penyebab anemia yang dialami anak. Berikut berbagai penyebab anemia pada anak dan remaja yang perlu diketahui: \n\n \n\n - Kurangnya Asupan Zat Besi \n\n Zat besi punya peran yang sangat besar dalam pembentukan hemoglobin. Kurangnya asupan zat besi tentu dapat menimbulkan anemia. Bila anak ternyata kurang mendapat asupan zat besi, orangtua bisa memberinya makanan yang kaya zat besi seperti hati, jeroan, bayam, kacang-kacangan, kerang, daging merah, dan lain-lain. Namun, ada beberapa makanan dan obat-obatan dapat menghambat penyerapan zat besi bila dikonsumsi dengan makanan kaya zat besi, seperti: \n\n \n Produk susu \n Makanan kaya kalsium lainnya \n Suplemen kalsium \n Antasida \n Kopi \n Teh \n \n\n \n\n Masalah pencernaan seperti penyakit Crohn, penyakit celiac, dan operasi bypass lambung juga dapat mengganggu penyerapan zat besi. \n\n \n\n - Kekurangan Vitamin \n\n Tubuh membutuhkan vitamin B12 dan folat untuk membuat sel darah merah. Pola makan yang terlalu rendah vitamin ini terkadang dapat menyebabkan anemia. Gangguan autoimun atau masalah pencernaan juga dapat membuat tubuh anak tidak cukup menyerap vitamin B12. Makanan hewani dan sereal sarapan yang diperkaya adalah contoh sumber vitamin B12 yang baik. Sedangkan folat banyak terkandung dalam sayuran berdaun hijau dan buah-buahan. \n\n \n\n - Mengidap Penyakit \n\n Penyakit atau infeksi kronis dapat menyebabkan tubuh memproduksi lebih sedikit sel darah merah. Hal ini dapat menyebabkan penurunan hemoglobin dan menyebabkan anemia. Beberapa obat dan perawatan medis juga dapat membuat anak berisiko mengalami anemia. Konsultasikan dengan dokter apakah anak butuh zat besi atau suplemen lain. \n\n \n\n - Kehilangan Darah \n\n Kehilangan terlalu banyak sel darah merah adalah penyebab umum anemia. Pada remaja, menstruasi berat terkadang bisa membuatnya mengalami anemia. Cedera atau pembedahan juga dapat menyebabkan kehilangan darah yang cukup untuk menyebabkan anemia. \n\n \n\n - Gejala Anemia Pada Remaja \n\n Selain mengetahui penyebab-penyebab anemia, penting untuk mengenali tanda dan gejala anemia pada anak. Berikut gejala anemia pada umumnya: \n\n \n Kulit pucat \n Kulit dan bagian mata menguning \n Pipi dan bibir pucat \n Lapisan kelopak mata dan bantalan kuku terlihat kurang merah muda dari biasanya \n Mudah marah \n Tubuh lemah \n Mudah lelah, lebih sering tidur siang \n \n\n \n\n \n\n Jika anak mengalami salah satu kondisi ini, diskusikan dengan dokter tentang pola makan yang paling baik dan tepat untuk anak. Pantau selalu tumbuh kembang anak agar anak dapat tumbuh dengan baik dan optimal. Salam sehat. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Ciputat<\/a><\/li>
- 27 April 2021<\/li><\/ul><\/div>
Pentingnya Peran Orangtua dan Terapi ABK Autisme<\/a><\/h3>
Tahukah Sahabat Hermina bahwa 1-2% anak di dunia terdeteksi autis atau 1 dari 59 anak menderita autisme. Anak laki-laki lebih banyak terdiagnosa autisme dibanding perempuan. \n\n \n\n Autisme merupakan gangguan dalam perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan tidak bisa mengamati dan mengelola informasi. Sangat penting untuk mewaspadai gejala atau ciri-ciri autisme sedini mungkin, karena meskipun autisme tidak bisa disembuhkan, terdapat berbagai metode untuk menangani autisme yang bertujuan agar penderita dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, kondisi anak yang bagaimana yang harus orang tua waspadai? Di antaranya adalah: \n\n \n Tidak merespon jika dipanggil namanya \n Tidak tertarik berinteraksi atau menarik diri \n Kontak mata kurang \n Kesulitan memahami perasaan orang lain atau megungkapkan perasaannya sendiri \n Permainannya terbatas dan kurang imajinasi \n Kurang atau tidak dapat mencontoh kegiatan \n Tidak bisa bermain pura-pura \n Kesulitan mengekpresikan apa yang diinginkan \n Mengucapkan kata-kata yang tidak jelas atau pengulangan kata-kata yang tidak mempunyai arti \n Sulit beradaptasi dengan lingkungan baru \n Anak menunjukkan respon yang tidak lazim terhadap rangsangan \n \n\n \n\n Meskipun banyak metode yang bisa menangani penderita autisme agar dapat menyesuaikan diri, namun peran orangtua menjadi hal yang paling penting. “Guru pertama seorang anak adalah orang tuanya, namun guru terbaik bagi orang tua adalah anaknya”, sebagai orangtua, kita harus bisa menerima seutuhnya terlebih dahulu kondisi anak yang terdiagnosa autisme. \n\n \n\n Peran orangtua merupakan salah satu aspek dalam keberhasilan proses terapi, selain profesional dan terapis. Pada kenyataannya sering dijumpai orangtua menyerahkan sepenuhnya terapi anak autisnya pada klinik terapi yang dipilih, dengan alasan sudah membayar dengan mahal dan terapislah yang memahami metode terapi, padahal kerjasama profesional (dokter, terapis dan psikolog) dan orangtua (ayah dan ibu) diperlukan untuk keberhasilan terapi. Bentuk peran orangtua yang diharapkan dalam pelaksanaan terapi adalah menyediakan waktu untuk mengantar anak terapi, patuh menerapkan diet, memberi pengertian dan membangun kerja sama dengan saudara kandung lainnya, menambah ilmu seputar autisme, menjalin komunikasi dengan terapis tentang kemajuan belajar anak, membaca buku penghubung, konsisten dan menindaklanjuti program terapi di rumah. \n\n \n\n Tentunya anak autisme dengan orangtua yang menerima akan lebih dapat mengejar ketinggalan dibanding dengan anak autis yang mendapat penolakan dari orangtuanya. Maka dari itu sangat penting kerjasama antara orangtua, saudara kandung (keluarga), dan paramedis (dokter, terapis, psikolog). \n\n \n\n Sejauh ini belum diketahui penyebab autisme, siapa saja bisa mempunyai anak autisme. Namun keterlambatan tumbuh kembang penderita autisme bisa dikejar dengan penerimaan dan kasih sayang orangtua, dan tentunya dibantu dengan tenaga profesional (dokter dan terapis). \n\n \n\n Pecegahan sedini mungkin akan lebih baik, konsultasikan segera ke Klinik Tumbuh Kembang (KTK). Rumah Sakit Hermina Ciputat memiliki tim yang terdiri dari dokter (spesialis anak dan spesialis ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi), terapis (okupasi terapi, terapi wicara, fisioterapi) dan juga psikolog anak. \n\n \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Pekalongan<\/a><\/li>
- 19 April 2021<\/li><\/ul><\/div>
Gestational Diabetes pada Ibu Hamil<\/a><\/h3>
Diabetes gestasional adalah jenis diabetes sementara yang berkembang selama kehamilan di atas usia kehamilan 20 atau 22 minggu. Seorang perempuan yang memiliki diabetes gestasional dalam satu kehamilan memiliki risiko lebih tinggi terkena diabetes gestasional pada kehamilan berikutnya. Meskipun diabetes gestasional beralih ke normal setelah melahirkan, namun tetap meningkatkan risiko DM tipe 2 pada 5-10 tahun yang akan datang. \n\n \n\n Sama dengan diabetes yang biasa, diabetes gestasional terjadi ketika tubuh tidak memproduksi cukup insulin untuk mengontrol kadar glukosa (gula) dalam darah pada masa kehamilan. Kondisi tersebut dapat membahayakan ibu dan anak, namun dapat ditekan bila ditangani dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu pemeriksaan gula darah secara teratur dan tepat waktu untuk diabetes tipe 2 penting dilakukan dilakukan bagi perempuan yang pernah menyandang diabetes gestasional. \n\n \n\n \n\n Gejala Diabetes Gestasional \n\n \n\n Gejala diabetes saat kehamilan muncul ketika kadar gula darah melonjak tinggi (hiperglikemia). Gejala-gejalanya yaitu: \n\n \n Sering merasa haus \n Frekuensi buang air kecil meningkat \n Mulut kering \n Tubuh mudah lelah \n Penglihatan buram \n \n\n \n\n Perlu diketahui bahwa tidak semua gejala di atas menandakan diabetes gestasional, karena bisa dialami oleh ibu hamil. Oleh karena itu, bicarakan dengan dokter bila mengalami kondisi di atas. \n\n \n\n \n\n Penyebab Diabetes Gestasional \n\n \n\n Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan diabetes gestasional. Akan tetapi, kondisi ini diduga terkait dengan perubahan hormon dalam masa kehamilan. \n\n \n\n Pada masa kehamilan, plasenta akan memproduksi lebih banyak hormon, seperti hormon estrogen, HPL (human placental lactogen), termasuk hormon yang membuat tubuh kebal terhadap insulin, yaitu hormon yang menurunkan kadar gula darah. Akibatnya, kadar gula darah meningkat dan menyebabkan diabetes gestasional. \n\n \n\n \n\n Faktor Risiko Diabetes Gestasional \n\n \n\n Semua ibu hamil berisiko mengalami diabetes gestasional, akan tetapi lebih berisiko terjadi pada ibu hamil dengan faktor-faktor berikut ini: \n\n \n Memiliki berat badan berlebih \n Memiliki riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi. \n Pernah mengalami diabetes gestasional pada kehamilan sebelumnya \n Pernah mengalami keguguran \n Pernah melahirkan anak dengan berat badan 4,5 kg atau lebih \n Memiliki riwayat diabetes dalam keluarga \n Mengalami PCOS (polycystic ovary syndrome) atau akantosis nigrikans \n \n\n \n\n \n\n Diagnosis Diabetes Gestasional \n\n \n\n Dokter dapat menduga pasien mengalami diabetes gestasional apabila terdapat gejala disertai riwayat medis yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun untuk memastikannya, dokter dapat menjalankan pemeriksaan lanjutan, seperti: \n\n \n Tes toleransi glukosa oral (TTGO) awal. Dalam TTGO awal, dokter akan memeriksa kadar gula darah pasien, satu jam sebelum dan sesudah diberikan cairan gula. Bila hasil TTGO awal menunjukkan kadar gula darah di atas 130–140 mg/dL, dokter akan melakukan tes toleransi glukosa oral lanjutan. \n Tes toleransi glukosa oral (TTGO) lanjutan. Pada tes ini, pasien akan diminta berpuasa semalaman sebelum menjalani tes darah di pagi hari. Setelah darah pertama diambil, dokter akan memberikan air gula dengan kadar gula yang lebih tinggi dibanding TTGO awal. Kemudian, kadar gula darah akan diperiksa 3 kali setiap jam. Apabila 2 dari 3 pemeriksaan menunjukkan kadar gula darah tinggi, pasien akan didiagnosis menderita diabetes gestasional. \n \n\n \n\n Pada pasien yang telah didiagnosis diabetes gestasional, dokter akan menyarankan dilakukannya tes darah secara lebih rutin, terutama pada 3 bulan terakhir masa kehamilan. Bila terjadi komplikasi kehamilan, dokter akan memeriksa fungsi plasenta pasien guna memastikan bayi mendapat oksigen dan nutrisi yang tepat dalam rahim. \n\n \n\n Dokter juga akan kembali menjalankan tes darah setelah pasien melahirkan dan pada 6-12 minggu setelahnya, untuk memastikan kadar gula darah pasien sudah kembali normal. Pasien juga disarankan menjalani tes darah tiap 3 tahun sekali, meskipun kadar gula darah sudah kembali normal. \n\n \n\n \n\n Pengobatan Diabetes Gestasional \n\n \n\n Pengobatan diabetes gestasional bertujuan untuk mengendalikan kadar gula darah dan mencegah terjadinya komplikasi saat hamil dan melahirkan. Metode pengobatan diabetes gestasional meliputi: \n\n \n Pemeriksaan kadar gula darah rutin. Dokter akan menganjurkan pasien memeriksakan darah 4-5 kali sehari, terutama di pagi hari dan tiap selesai makan. Pasien dapat memeriksakan darah secara mandiri, menggunakan jarum kecil, dan meletakkan darah di cek gula darah. \n Diet sehat. Dokter akan menyarankan pasien untuk banyak mengonsumsi makanan berserat tinggi, seperti buah, sayuran, dan biji-bijian. Pasien juga disarankan untuk membatasi konsumsi makanan manis, serta makanan dengan kandungan lemak dan kalori tinggi. \n Menurunkan berat badan saat sedang hamil tidak disarankan, karena tubuh sedang memerlukan tenaga ekstra. Oleh karena itu, bila ingin menurunkan berat badan, lakukanlah sebelum merencanakan kehamilan. \n Pola diet juga tidak sama pada setiap pasien. Oleh karena itu, konsultasikan dengan dokter mengenai pola diet yang tepat bagi Anda. \n Olahraga. Olahraga dapat merangsang tubuh memindahkan gula dari darah ke dalam sel untuk diubah menjadi tenaga. Manfaat lain dari olahraga rutin adalah membantu mengurangi rasa tidak nyaman saat hamil, seperti sakit punggung, kram otot, pembengkakan, sembelit, dan sulit tidur. \n Obat-obatan. Bila diet sehat dan olahraga belum mampu menurunkan kadar gula darah, dokter akan meresepkan metformin. Bila metformin tidak efektif atau menimbulkan efek samping parah, dokter akan memberi suntik insulin. Sekitar 10-20 persen pasien diabetes gestasional memerlukan obat-obatan untuk menormalkan kadar gula darah. \n \n\n \n\n Bila kadar gula darah pada ibu hamil tetap tidak terkontrol atau belum juga melahirkan pada usia kehamilan lebih dari 40 minggu, dokter dapat memilih melakukan operasi caesar atau induksi untuk mempercepat persalinan. \n\n \n\n Diabetes gestasional dapat meningkatkan risiko bayi terlahir dengan komplikasi. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin, agar perkembangan bayi tetap terpantau. \n\n \n\n \n\n Komplikasi Diabetes Gestasional \n\n \n\n Ibu hamil yang menderita diabetes gestasional tetap dapat melahirkan bayi yang sehat. Namun, bila kondisi ini tidak ditangani dengan tepat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada bayi saat lahir, seperti: \n\n \n Kelebihan berat badan saat lahir yang disebabkan oleh tingginya kadar gula dalam darah (macrosomia). \n Lahir prematur yang mengakibatkan bayi kesulitan bernafas (respiratory distress syndrome). Kondisi ini juga dapat terjadi pada bayi yang lahir tepat waktu. \n Lahir dengan gula darah rendah (hipoglikemi) akibat produksi insulin yang tinggi. Kondisi ini dapat mengakibatkan kejang pada bayi, namun dapat ditangani dengan memberinya asupan gula. \n Risiko mengalami obesitas dan diabetes tipe 2 ketika dewasa. \n \n\n \n\n Selain pada bayi, ibu hamil juga berpotensi mengalami komplikasi, seperti hipertensi dan preeklamsia yang dapat membahayakan nyawa ibu dan bayi. Ibu hamil juga berisiko terserang diabetes gestasional pada kehamilan berikutnya, atau malah terkena diabetes tipe 2. \n\n \n\n \n\n Pencegahan Diabetes Gestasional \n\n \n\n Hingga saat ini, belum diketahui apakah diabetes gestasional dapat dicegah atau tidak. Namun demikian, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menekan risiko terserang penyakit ini, yaitu: \n\n \n Memperbanyak konsumsi makanan sehat dengan serat tinggi, seperti sayuran dan buah-buahan. Di samping itu, hindari makanan yang mengandung lemak atau kalori tinggi. \n Berolahraga secara teratur untuk menjaga kebugaran tubuh sebelum dan saat hamil. Dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan hingga sedang, seperti berenang, jalan cepat, atau bersepeda minimal 30 menit per hari. Bila tidak memungkinkan, lakukan olahraga singkat namun berkala, seperti sering berjalan kaki atau melakukan pekerjaan rumah. \n Turunkan berat badan saat merencanakan kehamilan dengan menjalani pola makan sehat secara permanen. Langkah ini juga akan memberikan manfaat jangka panjang, seperti memiliki jantung sehat. \n \n\n \n\n Jika Anda masuk kedalam faktor risiko tersebut, kontrol kehamilan Anda dengan dokter spesilais kandungan dan kebidanan untuk kehamilannya dan konsultasikan gestasionalnya ke dokter spesialis penyakit dalam. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Pekalongan<\/a><\/li>
- 31 Maret 2021<\/li><\/ul><\/div>
Mencegah Gigi Berlubang pada Anak<\/a><\/h3>
Sakit gigi akibat gigi berlubang bisa menghalangi banyak aktivitas anak, termasuk makan, belajar, bahkan beristirahat. Oleh karena itu, penting untuk mencegah gigi berlubang agar anak bisa senantiasa aktif, ceria, dan sehat. \n\n \n\n Balita dan anak-anak memang sangat rentan mengalami gigi berlubang. Salah satu pemicunya adalah kegemaran mereka untuk menyantap makanan dan minuman manis alias berkadar gula tinggi. Jika dipadukan dengan pola menjaga kesehatan gigi yang belum teratur, risikonya tentu akan semakin tinggi. \n\n \n\n \n\n Cara Mencegah Gigi Berlubang pada Anak \n\n \n\n Berikut adalah beberapa cara mencegah gigi berlubang pada anak yang perlu Anda ketahui: \n\n \n\n 1. Bersihkan gigi anak sejak dini \n\n Bayi tumbuh gigi pertama kali biasanya saat memasuki usia 6 bulan. Gigi pertama yang muncul adalah dua gigi depan (gigi seri) di gusi bagian bawah. Pada masa ini, Anda sudah dianjurkan untuk selalu membersihkan giginya 2 kali sehari, menggunakan air dan sikat gigi khusus bayi yang berbulu lembut. \n\n \n\n Perlu diingat juga bahwa selama anak berusia di bawah 2 tahun, jangan sekali-kali coba menggunakan pasta gigi ber-fluoride, kecuali atas anjuran dokter. \n\n \n\n 2. Lakukan pemeriksaan gigi pertama \n\n Saat anak berusia 1 tahun, Anda juga disarankan untuk membawanya ke dokter gigi anak guna mendapatkan pemeriksaan gigi pertama kalinya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tanda-tanda masalah gigi yang mungkin ada dan mengatasinya sejak dini. \n\n \n\n 3. Ajarkan anak cara menyikat gigi \n\n Ketika anak sudah menginjak usia 3–4 tahun, Anda bisa mulai mengajarinya cara menyikat gigi dengan memberi contoh sambil mempraktikkannya. Di awal, bantu anak dengan ikut memegang sikat gigi dan mengarahkan tangannya. \n\n \n\n Di usia ini, anak sudah boleh menggunakan pasta gigi yang mengandung fluoride dengan seukuran kacang polong. Namun, sebelum berusia 6 tahun, anak perlu selalu diawasi selama menggosok gigi. Ingatkan ia untuk tidak menelan pasta gigi dan meludahkannya. Ajari dan awasi juga saat anak berkumur. \n\n \n\n 4. Ajarkan anak kebiasaan sikat gigi yang baik \n\n Saat anak sudah bisa menyikat giginya sendiri, ingatkan ia kebiasaan sikat gigi yang baik, seperti menyikat gigi setiap pagi dan sebelum tidur. Berikut adalah beberapa tips mengajarkan anak menyikat gigi dengan baik: \n\n \n Biarkan anak memilih warna sikat gigi kesukaannya sendiri dan gunakanlah sikat gigi yang manual, bukan sikat gigi elektrik. \n Ciptakan kegiatan menyikat gigi yang menyanangkan untuk anak, misalnya dengan bernyanyi bersama atau bercerita. \n Ganti sikat gigi anak setiap 3–4 bulan sekali dan cegah jangan sampai sikat giginya dipakai orang lain. \n Ajarkan anak untuk menyimpan sikat gigi dalam posisi berdiri, pada wadah kering dan terbuka. \n \n\n \n\n 5. Biasakan anak untuk makan makanan bergizi \n\n Batasi memberikan anak makanan maupun minuman manis, seperti permen, kue dan biskuit, cokelat, serta minuman ringan, karena hal ini sangat mudah memicu gigi berlubang. \n\n \n\n Sebagai gantinya, biasakan anak untuk makan makanan yang sehat dan dapat mendukung kesehatan giginya, seperti sayur dan buah yang mengandung banyak serat, serta susu, keju, dan yogurt sebagai sumber kalsium. \n\n \n\n 6. Jangan buat anak takut dengan dokter gigi \n\n Pemeriksaan rutin ke dokter gigi penting untuk mendeteksi dan mencegah kerusakan gigi, termasuk gigi berlubang. Oleh karena itu, jangan menakut-nakuti anak dengan ancaman ke dokter gigi ketika ia malas menyikat gigi atau tidak mau berhenti makan makanan manis. \n\n \n\n Sebagai gantinya, beri tahu anak mengenai kerusakan apa yang bisa terjadi pada giginya jika ia lalai merawat gigi. Selain itu, beri tahu bahwa dokter gigi adalah orang yang dapat membantunya merawat kesehatan gigi, agar anak tidak takut ke dokter gigi \n\n \n\n Mencegah gigi berlubang pada anak tidak hanya terkait dengan gigi dan mulut yang sehat, tetapi juga tubuh anak yang sehat. Pasalnya, gigi berlubang bisa menjadi sumber masalah kesehatan lain yang lebih serius dan mengganggu, seperti nyeri hebat, infeksi, dan malas makan yang bisa menyebabkan penurunan berat badan. \n\n \n\n Hal terpenting yang perlu Anda ingat dalam menerapkan cara di atas adalah menjadikan diri Anda sebagai teladan. Jika Anda tidak rutin menyikat gigi, sering makan makanan manis, atau terburu-buru saat menyikat gigi, anak bisa saja mengikutinya dan akhirnya meremehkan pentingnya menjaga kesehatan gigi. \n\n \n\n Bila Anda masih memiliki pertanyaan seputar gigi berlubang maupun cara mencegahnya, Anda bisa konsultasi dengan dokter gigi di RS Hermina untuk mendapatkan penanganan yang tepat. \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Pekalongan<\/a><\/li>
- 08 Maret 2021<\/li><\/ul><\/div>
Kapan Harus Periksa ke Dokter Gigi Umum atau Dokter Bedah Mulut?<\/a><\/h3>
Dokter gigi adalah dokter yang memiliki keahlian khusus di bidang kesehatan gigi dan mulut. Peran dokter gigi adalah melakukan diagnosis, mengobati, dan mencegah masalah gigi dan mulut. Namun, beberapa tindakan hanya bisa dilakukan oleh dokter gigi yang telah menyelesaikan pendidikan spesialis. \n\n Selama ini mungkin Anda hanya mengenal istilah dokter gigi umum sebagai profesi yang dapat mengatasi semua masalah gigi dan mulut. Namun, setiap masalah gigi, gusi, dan mulut yang lebih berat memerlukan penanganan dokter gigi spesialis sesuai bidang keilmuan yang telah didalaminya. \n\n Saat praktik, dokter gigi akan menangani pelayanan kesehatan (konsultasi), pencegahan, perawatan, dan pengobatan bagian gigi dan mulut. \n\n Jika kondisi gigi memerlukan pembedahan atau operasi, dokter gigi umum akan merujuk Anda untuk konsultasi dan ditangani oleh dokter spesialis bedah mulut. \n\n Dokter bedah mulut adalah dokter gigi spesialis yang menangani penyakit pada mulut, gigi, rahang, dan lidah, khususnya dengan operasi. Dokter bedah mulut perlu memiliki latar pendidikan dokter gigi, kemudian menyelesaikan pendidikan spesialis di bidang ilmu bedah mulut. \n\n Cakupan bidang yang ditangani oleh dokter bedah mulut cukup luas. Dokter bedah mulut perlu menguasai ilmu kedokteran gigi sekaligus ilmu bedah umum. Selain itu, dokter bedah mulut juga perlu mengikuti pendidikan spesialisasi selama 5-6 tahun (sekitar 12 semester) setelah menjadi dokter gigi. \n\n \n\n Berikut ini adalah beberapa kondisi yang bisa ditangani oleh dokter bedah mulut: \n\n - Kelainan pada area mulut dan rahang, seperti bibir atau langit-langit mulut yang sumbing \n\n - Abses di area mulut dan rahang \n\n - Tumor atau kanker dan kista pada area mulut dan rahang, seperti kanker kelenjar air liur, kanker mulut, kanker lidah, dan kista gigi \n\n - Impaksi gigi, yaitu gagalnya proses pertumbuhan gigi dengan posisi yang tepat, sehingga sebagian atau seluruh gigi terjebak di dalam gusi \n\n - Gangguan pada TMJ (tempromandibular joint), yaitu sendi yang berfungsi untuk menggerakkan rahang dan menghubungkan rahang dengan tengkorak \n\n - Infeksi pada gigi, gusi, dan mulut. Contohnya adalah abses gigi dan gusi, atau abses pada jaringan mulut dan lidah \n\n - Gangguan gerakan rahang, seperti trismus atau rahang kaku \n\n - Gangguan posisi maupun struktur tulang rahang dan gigi. Misalnya, gigi tonggos (overbite), rahang bawah yang terlalu maju (underbite), atau rahang bawah yang terlalu mundur (retrognathia) \n\n - Gangguan saraf pada area mulut dan rahang, seperti trigeminal neuralgia \n\n - Cedera pada area mulut dan rahang, termasuk patah atau retak pada tulang rahang \n\n - Gangguan tidur, seperti mengorok dan sleep apnea \n\n \n\n Dokter bedah mulut juga dapat menangani berbagai masalah pada gigi dan gusi yang membutuhkan operasi termasuk gigi berlubang, gigi retak, gingivitis, maupun periodontitis. \n\n Dalam melakukan diagnosis, dokter bedah mulut akan menelusuri riwayat kesehatan, sekaligus gejala-gejala yang dirasakan pasien. Setelah itu, dokter akan melakukan serangkaian pemeriksaan fisik pada gigi, mulut, dan rahang pasien. \n\n Untuk memastikan diagnosis, dokter bedah mulut juga dapat menyarankan pasien melakukan pemeriksaan rontgen gigi dan mulut atau rahang, CT scan, maupun MRI. Tes darah dan pengambilan sampel jaringan dengan biopsi juga mungkin dilakukan, apabila diperlukan. \n\n Setelah diagnosis dipastikan, dokter bedah mulut akan menentukan langkah penanganannya. Penanganan bisa dengan obat-obatan maupun prosedur medis. Tujuannya adalah untuk mengembalikan fungsi area mulut, gigi, dan rahang yang terganggu. \n\n \n\n Kapan Perlu Memeriksakan Diri ke Dokter Bedah Mulut? \n\n Gangguan pada mulut dan rahang yang dibiarkan, apalagi dalam jangka waktu lama, bisa menyebabkan komplikasi yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti mengunyah dan berbicara. \n\n Maka dari itu, sebaiknya Anda segera ke dokter gigi atau dokter bedah mulut bila mengalami gejala-gejala berikut: \n\n \n Rahang terasa nyeri, kaku, atau berbunyi \n Gusi terasa nyeri, bengkak, bernanah, atau berdarah \n Bentuk rahang tidak selaras dengan gigi \n Sulit atau nyeri saat mengunyah dan menelan \n Terdapat kelainan bentuk di area mulut dan rahang \n Gigi rusak atau berlubang parah \n Napas berbau tak sedap atau mulut terasa tidak enak \n Rahang sulit digerakkan, bahkan hanya untuk membuka mulut \n \n\n \n\n Gejala-gejala di atas mungkin saja datang dan pergi ataupun menetap dalam jangka waktu lama. Gejala juga mungkin terjadi hanya pada satu sisi rahang atau keduanya. \n\n \n\n Hal yang Perlu Dipersiapkan sebelum Bertemu Dokter Bedah Mulut: \n\n Anda umumnya pergi ke dokter bedah mulut setelah mendapat rujukan dari dokter gigi. Sebelum memeriksakan diri ke dokter bedah mulut, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan guna memudahkan dokter menentukan perawatan yang tepat. \n\n Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu Anda persiapkan dan perhatikan sebelum berkonsultasi dengan dokter bedah mulut: \n\n - Bawalah hasil pemeriksaan yang sudah pernah Anda lakukan sebelumnya, termasuk riwayat pengobatan dari dokter gigi \n\n - Sampaikan gejala dan keluhan yang Anda rasakan secara detail \n\n - Beri tahu dokter tentang riwayat penyakit Anda maupun keluarga. Beberapa penyakit, misalnya diabetes, membuat seseorang lebih rentan mengalami gangguan pada mulut dan rahang \n\n - Siapkan daftar obat-obatan yang sedang dikonsumsi (termasuk suplemen dan obat herbal), serta alergi yang Anda dimiliki \n\n - Beri tahu dokter tentang kebiasaan-kebiasaan Anda, baik seputar kebersihan mulut atau lainnya, seperti merokok \n\n - Mintalah keluarga atau teman untuk mendampingi, agar Anda merasa lebih tenang bila operasi perlu segera dilakukan \n\n \n\n Anda bisa mencari tahu terlebih dulu tentang biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan ke dokter bedah mulut. Biaya yang akan Anda keluarkan mungkin tidak sedikit, terlebih jika dibutuhkan tindakan operasi langsung. \n<\/p><\/div><\/div><\/div>
<\/a><\/div>- Hermina Lampung<\/a><\/li>
- 17 Februari 2021<\/li><\/ul><\/div>
4 Persiapan untuk Sebelum Jalani Bedah Katarak<\/a><\/h3>
Katarak adalah suatu kondisi ketika lensa mata berubah menjadi keruh dan penglihatan jadi seburam kaca yang berembun. Pada kebanyakan kasus katarak, kondisi ini terjadi seiring proses penuaan. Namun, katarak dapat terjadi juga pada bayi yang baru dilahirkan. \n\n Kondisi ini terjadi secara perlahan. Mulanya kekeruhan pada lensa terasa tipis saja, tetapi kemudian lama kelamaan menjadi semakin tebal. \n\n Ketika katarak sudah menebal, keluhan akan penglihatan yang kabur pun semakin terasa. Misalnya, mata silau jika melihat cahaya yang terang, warna jadi terlihat pudar, melihat objek jadi seperti berganda, dan banyak lagi. \n\n \n\n Apa Itu Bedah Katarak? \n\n Dalam bedah katarak, lensa pasien yang keruh akan diganti dengan lensa buatan. Prosedur ini dilakukan oleh dokter spesialis mata yang umumnya termasuk tindakan medis yang aman Teknik bedah katarak dengan metode Fakoemulsifikasi merupakan teknik bedah katarak yang paling canggih saat ini. Teknik bedah modern ini memungkinkan pasien dapat pulang ke rumah setelah tindakan bedah di hari yang sama tanpa harus menjalani rawat inap (One Day Surgery). \n\n \n\n Apa Saja Persiapan Untuk Menjalani Bedah Katarak? \n\n 1. Lakukan Serangkaian Pemeriksaan Awal \n\n Rangkaian pemeriksaan dan tes harus dilakukan sekitar 1-2 minggu sebelum bedah katarak dilakukan. Selain untuk meminimalisir terjadinya risiko, pemeriksaan dan tes ini juga dilakukan untuk meningkatkan tingkat keberhasilan bedah katarak. Terutama, untuk menentukan pilihan lensa yang terbaik untuk menggantikan lensa alami yang terkena katarak. \n\n Contoh rangkaian pemeriksaan dan tes adalah: \n\n - EKG (electrokardiogram) – pemeriksaan jantung untuk mendeteksi jika ada kelainan. \n\n - Retinometri – memeriksa kondisi syaraf mata \n\n - Specular Microscope – untuk mengetahui kondisi kornea \n\n - Biometri IOL (introokular) Master – untuk mengetahui ukuran dan jenis lensa mata yang bisa ditanamkan \n\n 2. Melakukan konsultasi dengan dokter mengenai jenis tindakan bedah katarak \n\n 3. Memilih jenis lensa yang sesuai \n\n Lensa mata implan yang digunakan umumnya terbuat dari silikon atau akrilik yang kemudian dilapisi oleh materi khusus untuk menangkal sinar UV. Ada 4 jenis lensa implan yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien, yaitu: \n\n - Lensa Monofokal \n\n Lensa monofokal adalah jenis lensa implan yang paling umum dan tradisional. Lensa ini hanya memiliki satu fokus — fokus jarak dekat, menengah, maupun jauh tergantung daripada keinginan pasien. Umumnya lensa jenis ini dipilih untuk membantu fokus jarak jauh. Fokus jarak dekat, seperti saat membaca, akan dibantu dengan menggunakan kacamata baca. Lensa jenis ini juga merupakan jenis lensa yang terbaik apabila pengguna sering berkendara di malam hari karena memiliki efek silau yang lebih kecil dibandingkan lensa jenis lainnya. \n\n - Lensa Multifokal \n\n Lensa ini memiliki dua titik fokus, yaitu fokus jarak dekat dan fokus jarak jauh. Lensa ini didesain sedemikian rupa sehingga otak dapat memilih titik fokus yang sesuai untuk penglihatan yang diinginkan. Lensa multifokal memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan monofokal. \n\n - Lensa Akomodatif \n\n Kebutuhan untuk mendapatkan penglihatan terbaik dalam segala situasi menyebabkan terciptanya lensa akomodatif. Lensa ini dibuat secara khusus untuk dapat berhubungan dengan otot siliaris (otot mata yang mengatur kemampuan untuk mencembung dan memipihkan lensa mata) sehingga lensa dapat berpindah ke depan maupun ke belakang untuk menyesuaikan fokus berdasarkan letak benda. \n\n Relaksasi otot siliar akan menyebabkan lensa bergerak ke belakang dan meningkatkan penglihatan jarak jauh. Sebaliknya, kontraksi dari otot siliar akan menyebabkan lensa bergerak ke arah depan dan membantu untuk penglihatan jarak dekat. \n\n - Lensa Torik \n\n Berbeda dengan lensa jenis lainnya yang membantu untuk mengatasi minus dan plus pada mata, lensa jenis ini diperuntukkan untuk mengatasi mata silinder (astigmatisme). Penggunaan lensa torik memberikan hasil terbaik dalam mengatasi mata silindris dibandingkan dengan berbagai macam teknik lainnya, seperti pengurangan luas area operasi ataupun metode limbal relaxing incision. \n\n 4. Pemberian obat tetes mata \n\n Obat tetes mata antibiotik akan diresepkan oleh dokter mata 1-2 hari sebelum bedah katarak dilaksanakan. Selain itu, terdapat juga beberapa pantangan dan kewajiban yang harus dipatuhi, yaitu: \n\n \n Berhenti mengkonsumsi obat-obatan pengencer darah untuk sementara \n Berpakaian nyaman, tidak memakai perhiasan, makeup dan parfum yang berlebihan di hari operasi \n Mengatur dengan baik cara untuk pulang ke rumah seusai operasi, karena menyetir sendiri sangat tidak dianjurkan. \n \n\n \n\n Tindakan Lanjutan Setelah Bedah Katarak \n\n Setelah Bedah Katarak dilaksanakan, kemungkinan besar penglihatan hanya mulai membaik setelah beberapa hari (tidak langsung). Rasa gatal atau tidak nyaman juga dapat terjadi. Pasalnya, mata yang dioperasi tersebut sedang dalam proses pemulihan dan penyesuaian. \n\n Tidak jarang juga mata seperti berair, atau jadi sangat sensitif terhadap cahaya. Segala ketidaknyamanan ini biasanya berhenti dalam hitungan hari pasca operasi. Namun jika rasanya berlebihan, dokter bisa saja memberi perawatan lebih. \n\n Pasca operasi, dokter akan memberikan obat tetes mata khusus yang dapat membantu pemulihan dan mengurangi risiko infeksi. Kacamata atau pelindung mata juga dapat disarankan untuk menambah proteksi pada mata yang telah dioperasi. \n\n Selain itu, berikut beberapa tips yang biasanya disarankan: \n\n \n Tidak memegang atau mengucek mata \n Tidak mengangkat benda berat \n Sudah dapat berjalan, membaca, dan sebagainya, tetapi tetap berhati-hati \n \n\n \n\n Hal-hal ini sebaiknya didiskusikan lebih lanjut bersama dengan dokter spesialis mata yang akan melakukan operasi Anda agar mendapatkan hasil akhir terbaik. \n\n \n<\/p><\/div><\/div><\/div>"); $('#div_next_link').html(" <\/a><\/span>");
- 17 Februari 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 08 Maret 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 31 Maret 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 19 April 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 27 April 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 28 April 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 10 Mei 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 31 Mei 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 11 Juni 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 28 Juni 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 17 Juli 2021<\/li><\/ul><\/div>
- 29 Juli 2021<\/li><\/ul><\/div>