Dislokasi Sendi dan Mencegah Komplikasi Buruk pada Kasus Patah Tulang
Dislokasi sendi, seringkali dikenal sebagai suatu kondisi terlepasnya sebuah artikulasi pada bagian anggota gerak tubuh.
Kondisi terlepasnya suatu artikulasi di anggota gerak tubuh sering kita kenal dengan nama dislokasi. Kasus yang terjadi pada keadaan ini selalu seringkali disebabkan oleh karena riwayat trauma atau benturan pada anggota pergerakan tubuh.
Persendiaan pada anggota gerak yang sering kali mengalami dislokasi adalah sendi bahu, sendi panggul, dan sendi siku. Mekanisme trauma yang terjadi pun dapat membedakan jenis dan tipe dislokasi yang dihasilkan. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan keterangan mengenai waktu trauma, mekanisme trauma dan juga posisi yang tampak terlihat dari anggota gerak tersebut pasca trauma.
Penanganan Pertama Kasus Dislokasi
Kasus ini termasuk kasus kegawatdaruratan, karena kasus ini sering kali berhubungan dengan gangguan vaskularisasi (pembuluh darah) dan penjepitan persarafan.
Untuk penanganan pertama pada kasus dislokasi sendi yang sangat penting diperhatikan adalah mengutamakan immobilisasi anggota gerak selama proses transport ke rumah sakit terdekat yang memiliki fasilitas dokter spesialis bedah tulang (orthopedic surgeon). Dalam hal ini immobilisasi anggota gerak dapat menggunakan bidai ataupun karton dan kayu yg dijadikan sebagai bahan splinting (penyangga) pada anggota gerak yang mengalami cedera.
Hal penting lainnya adalah timing (waktu penanganan) yang diharapkan kurang dari golden period (masa kritis) sampai dengan penderita mendapatkan penanganan reduksi oleh ahli Orthopedic di kamar tindakan dengan anestesi umum. Hal ini penting, karena penderita harus dalam keadaan pembiusan pada proses manuver reposisi sendi, agar menghilangkan nyeri dan merelaksasi jaringan lunak atau otot di sekitar persendian agar mempermudah dalam proses reposisi sendi.
Komplikasi Patah Tulang
Penanganan baik medis dan nonmedis pada kasus patah tulang bila tidak ditangani dengan prosedur yang baik dan benar akan menimbulkan sebuah komplikasi yang akan membawa kasus patah tulang tersebut menjadi semakin sulit dan berbahaya bagi keselamatan pasien. Patut diketahui langkah awal dalam mendeteksi dan mengetahui gejala pada kasus ini. Dimana kasus ini sering kali muncul dari kasus kasus kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja.
Penanganan terapi patah tulang sendiri dapat dilakukan secara conservative (non operatif) dan operatif.
Tanda-tanda Klinis Patah Tulang
Tanda awal yang dapat diketahui pada kasus patah tulang akibat trauma antara lain:
- Keluhan nyeri pada daerah anggota tubuh yang mengalami trauma, pembengkakan, memar, angulasi/bengkok
- Tidak dapat menggerakan anggota tubuh, ditemukan adanya krepita, aliran pembuluh darah tepi yang menurun, rasa tebal dan kebas akibat dari penurunan sensasi pada anggota tubuh yang mengalami trauma.
Derajat Keluhan Patah Tulang
Kasus patah tulang dibagi menurut jenisnya menjadi;
- Patah tulang tertutup
- Patah tulang terbuka (disertai luka), sesuai derajatnya:
- Grade 1, luka terbuka ringan <1cm dengan perdarahan minimal dan simple fracture pattern
- Grade 2, luka terbuka sedang >1cm disertai perdarahan dan moderate fracture pattern
- Grade 3, luka terbuka besar, disertai perdarahan hebat dan gangguan vaskuler tepi sampai ditemukannya bone loss
Mencegah Komplikasi
Dalam mencegah perburukan yang akan terjadi pada kasus- kasus patah tulang yang paling penting adalah menangani kasus per kasus secara individual dan tidak melakukan manipulasi berlebihan yang dapat memperburuk keadaan (do no harm).
Perlu diperhatikan mekanisme injury dan keluhan yang paling dirasakan oleh pasien tersebut. Langkah awal adalah memberikan antinyeri (pain management) dan antibiotik profilaksis pada kasus patah tulang dengan luka terbuka. Tindak lanjut penanganan kasus ini adalah dengan proses pembidaian anggota gerak pada posisinya serta yang harus diingat proses pembidaian tidak boleh terlalu kuat dan ketat sehingga dapat mengancam gangguan peredaran darah ke bagian tepi dari anggota gerak yang bertujuan mencegah munculnya kematian jaringan.
Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah melakukan kontrol perdarahan dan memonitor cappilary refill pada ujung anggota gerak bagian bawah (distal). Setelah hal ini ditangani maka perlu tindak lanjut dalam transportasi pasien tersebut ke fasilitas kesehatan terdekat, guna mendapatkan penanganan medis dan juga rujukan ke instansi kesehatan yg memiliki instalasi gawat darurat serta spesialis bedah tulang sebagai decision maker therapy.
Untuk hal yang perlu di ingat, sekali lagi tidak diperkenankan memanipulasi trauma dengan cara diurut ataupun dipijat, hal ini selain akan meningkatkan penderitaan pasien juga dapat menghasilkan pergeseran pada tulang yang patah semakin besar yang akan berpengaruh pada keputusan terapi nantinya. Maka sangat diperlukan adanya pemeriksaan lanjutan berupa imaging dari anggota gerak yang mengalami trauma sehingga dapat membantu pemilihan tindak terapi.