Tuberkulosis” Mengenal Lebih Dalam
Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit yang menimbulkan beban global dengan sekitar 2,5 juta pasien baru dan 0,3 juta kematian setiap tahunnya. Angka penemuan dan pengobatan kasus Tuberkulosis di Indonesia masih rendah yakni sebesar 384.025 kasus atau 47% dari target yang diharapkan sebesar 85% pada tahun 2020. Selain angka penemuan dan pengobatan kasus yang rendah, angka keberhasilan pengobatan juga belum mencapai target yaitu sebesar 82,7% dari target 90% pada tahun 2020. Sejak terjadi pandemi COVID 19 di Indonesia tahun 2020, eliminasi Tuberkulosis tidak lagi menjadi fokus perhatian karena sebagian besar sumber daya kesehatan diarahkan untuk penanganan pandemi. COVID 19 menghalangi kesinambungan usaha dalam memerangi Tuberkulosis. Salah satu yang paling terdampak adalah menurunnya angka penemuan dan pengobatan kasus TBC di Indonesia yang mengindikasikan bahwa dengan semakin sedikit penderita Tuberkulosis yang diperiksa/terdiagnosis maka semakin sedikit yang diobati, dan semakin tinggi tingkat penularan di masyarakat.
TBC disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Gejala yang mengarah ke Tuberkulosis adalah batuk lebih dari 2 minggu , sesak napas, batuk darah, dan gejala lain seperti demam lama, lemas, penurunan berat badan, keringat malam, penurunan nafsu makan. Seringnya penyakit ini ditemukan saat infeksi sudah cukup parah dan bersamaan dengan penemuan penyakit lain misalnya malnutrisi, anemia, atau efusi pleura (cairan dalam ruang pembungkus paru). TBC bukan hanya ditemukan dalam paru tetapi juga di luar paru (ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya. Gejala TBC ekstra paru seringnya tidak disertai gejala respiratorik misalnya batuk, sesak napas atau batuk darah tetapi yang dikeluhkan adalah gejala sistemik yaitu penurunan berat badan, keringat malam, demam subfebris, dan penurunan nafsu makan.
Tuberkulosis ditularkan oleh penderita melalui udara. Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 basil dan satu kali bersin dapat memproduksi hingga 1 juta basil. Dosis yang diperlukan terjadinya infeksi TBC adalah 1 sampai 10 basil. Penularan TBC mudah terjadi dalam ruangan yang gelap dengan ventilasi minimal. Basil TBC dapat bertahan di udara dalam waktu yang lebih lama pada ruangan yang gelap dan ventilasi yang jelek. Cahaya matahari dapat langsung membunuh basil TBC. Risiko penularan TBC juga ditentukan oleh kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi. Proses seseorang yang terpapar kuman TBC berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun individu. Pada individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan berkembang menjadi penyakit TBC dan hanya 10% kasus yang akan menjadi penyakit TBC aktif.
Penegakan diagnosis TBC adalah dengan pemeriksaan Test Cepat Molekuler (TCM) kecuali pada daerah yang tidak memiliki fasilitas TCM masih dapat menggunakan pemeriksaan BTA (basil tahan asam). Sampel peemeriksaan bakteriologis ini berasal dari dahak tersangka TBC. Pemeriksaan penunjang lain adalah foto rongent dada yang berfungsi untuk melihat gambaran infeksi paru yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis). Hasil pemeriksaan TCM atau BTA yang negatif dengan gejala klinis TBC dan gambaran radiologis mengarah ke infeksi TBC tetap terdiagnosa dengan TBC klinis.
Tidak seperti penyakit infeksi lain, pengobatan TBC membutuhkan waktu panjang dan terapi khusus. Pengobatannya bersifat individual yang artinya sesuai dengan kondisi masing-masing pasien. Minimal waktu pengobatan TBC adalah enam bulan dengan pemberian obat berdasarkan pedoman nasional yang telah disusun oleh Kementrian Kesehatan. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TBC. Prinsip pengobatan TBC adalah pengobatan diberikan dalam bentuk panduan obat anti tuberculosis /OAT yang tepat dan mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi/ kebal obat. diberikan dalam dosis yang tepat, ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO/ Pengawas minum obat sampai selesai masa pengobatan, dan pengobatan diberikan dalam jangka waktu minimal 6 bulan yang terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
Beberapa penderita TBC mengalamai efek samping saat pengobatan. Efek samping yang sering ditemukan adalah mual, muntah, nyeri badan, dan peningkatan fungsi hati. Gangguan penglihatan atau gangguan pendengaran juga kadang terjadi meskipun dengan angka kejadian yang lebih kecil. Alergi obat juga bisa terjadi yang ditandai dengan rasa gatal di badan dan timbulnya kemerahan pada kulit. Pada kondisi ini penderita harus segera kembali ke dokter pemeriksa untuk mendapatkan tatalaksana efek samping. Kegagalan pengobatan TBC tergantung pada beberapa faktor yaitu faktor pasien yang tidak patuh minum OAT, pasien pindah ke fasilitas kesehatan lain dengan terapi yang tidak sesuai, yang kedua adalah faktor PMO yang tidak ada atau kurang memantau minum obat, faktor selanjutnya adalah faktor obat dimana suplai obat terganggu sehingga pasien menunda atau tidak meneruskan pengobatan dan kualitas obat menurun karena penyimpanan tidak sesuai standar.
TBC merupakan penyakit yang bisa disembuhkan. Keberhasilan pengobatan TBC sangat ditentukan oleh pasien, dokter dan keluarga pasien. Pemberian obat yang sesuai dengan dosis yang tepat, kemauan pasien untuk sembuh dan dukungan keluarga sangat penting pada keberhasilan pengobatan TB. Kendala yang sering terjadi pada pengobatan adalah rasa takut dan malu yang dirasakan pasien saat mengetahui sakit yang diderita, rasa tidak nyaman karena tidak tahan dengan efek samping obat yang kadang timbul, dan perasaan bosan karena harus meminum obat dalam jangka panjang. Motivasi dan dukungan dari keluarga serta dokter yang merawat sangat dibutuhkan pada pengobatan TBC. Selama masa pandemi ini masyarakat dihimbau untuk meningkatkan asupan gizi, istirahat cukup, berolahraga teratur, mengurangi stress dalam rangka meningkatkan daya tahan tubuh untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi Tuberkulosis ataupun penyakit infeksi lain