Kecanduan Media Sosial, Gangguan Jiwakah?
Pada zaman milenial ini, setiap orang yang kita temui hampir pasti memiliki telepon genggam dan biasanya mereka menghabiskan banyak waktu untuk menggunakannya. Tidak jarang kita menemui orang yang marah-marah bila mereka lupa membawa telepon genggamnya karena tidak bisa berkomunikasi melalui aplikasi WhatsApp atau tidak dapat membuka aplikasi jejaring lainnya. Lalu, apakah ini sudah termasuk kecanduan?
Pada dasarnya, semua hal yang berwujud mampu menimbulkan kecanduan bagi manusia, termasuk media sosial. Setiap hal yang dilakukan manusia pada awalnya untuk mencari kesenangan, menghindari perasaan tidak nyaman, sebagai hobi, atau sekedar mencoba, namun lama-kelamaan dapat menjadi kebiasaan.
Bila penggunaan media sosial ini sudah dilakukan lebih dari kebiasaan, terus meningkatnya intensitas penggunaan, adanya dorongan yang sangat kuat untuk segera membuka media sosial dan diikuti tindakan yang harus dilakukan sampai mengabaikan kewajiban pekerjaannya, serta mengakibatkan perubahan perilaku saat tidak mengakses media sosial, maka dapat dikategorikan sebagai kecanduan.
Belakangan ini, kebutuhan seseorang untuk mengakses media sosial sepertinya sudah mulai menimbulkan masalah. Misalnya, seseorang terus menerus menggunakan media sosial hampir sepanjang hari sehingga kebanyakan waktunya hanya dihabiskan untuk mengakses hal tersebut. Hal ini tentunya akan mengakibatkan penggunanya untuk mengabaikan kewajiban ia seharusnya, seperti bersekolah, bekerja, mengurus pekerjaan rumah tangga, maupun berelasi dengan keluarga.
Pada era pandemi, penggunaan media sosial semakin meningkat karena banyaknya pekerjaan dan sekolah yang bergeser menggunakan fasilitas daring sehingga waktu yang dialokasikan untuk melihat layar telepon genggam semakin meningkat. Belum lagi, keinginan untuk terus terhubung dan mencari informasi mengenai berita diluar sana. Namun, hal ini tidak menjadi pembenaran untuk menggunakan media sosial secara berlebihan yang tidak ada manfaatnya.
Data statistik pada tahun 2017 menunjukkan bahwa pengguna media sosial mencapai 2.78 milyar orang di dunia. Data ini menunjukkan bahwa penggunanya sudah meningkat 2.5 kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 2010 dan diperkirakan akan meningkat menjadi tiga kalinya pada tahun 2021. Data yang sama juga menunjukkan bahwa 71% pengguna internet menggunakannya untuk media sosial. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 menunjukkan bahwa ada 132,7 juta penduduk Indonesia yang menggunakan internet dan 40%-nya adalah pengguna aktif media sosial dengan mayoritas pada kalangan usia muda.
Penelitian menunjukkan bahwa screen time lebih dari dua jam sehari dapat menurunkan kesehatan mental. Penelitian di Amerika pada remaja berusia 14 sampai 17 tahun dengan screen time 7 jam versus 1 jam menunjukkan risiko dua kali lebih tinggi untuk didiagnosa depresi, gangguan cemas serta diterapi dengan pengobatan dalam 12 bulan terakhir. Ditemukan juga bahwa ada hubungan antara penggunaan media sosial dan screen time yang tinggi dengan gangguan cemas dan depresi.
Media sosial juga erat dengan masalah harga diri. Individu yang sangat banyak menghabiskan waktunya untuk media sosial biasanya memiliki harga diri yang lebih rendah dan memiliki kepribadian narsisistik. Mereka kerap kali perlu untuk meningkatkan harga dirinya dengan cara menyalurkan dan mengekspresikan diri serta kesuksesannya di media sosial dan mendapatkan reward dari komentar positif, maupun “likes” yang diberikan oleh lingkungan pertemanannya. Media sosial juga menjadi sarana agar mereka “tidak ketinggalan” karena adanya Fear of Missing Out (FOMO). Selain itu, individu yang kesepian dan sendiri lebih banyak menyalurkan dirinya melalui media sosial sebagai sarana mencurahkan isi pikiran dan perasaannya.
Lantas, apakah kecanduan media sosial ini berbahaya? Penelitian terbaru menemukan bahwa ada banyak kesamaan antara kecanduan akan rokok atau narkotika dengan ketergantungan akan perilaku, seperti ketergantungan media sosial, internet, berjudi, belanja, bermain gim, seks, dan lainnya. Bedanya adalah pada gejala fisik yang ditimbulkan.
Pada ketergantungan perilaku, seperti pada ketergantungan akan media sosial, tidak menimbulkan gejala putus zat atau sakaw seperti nyeri pada badan, gejala flu, sakit kepala, perubahan nafsu makan, dan lainnya seperti halnya yang terjadi pada kecanduan narkotika. Walaupun demikian, gejala kecanduan lainnya sama halnya dengan kecanduan akan narkotika sehingga membutuhkan terapi dari psikiater bila sudah sangat mengganggu, entah itu dengan pengobatan, psikoterapi atau kombinasi keduanya.
Terapi ini biasanya membantu orang yang ketergantungan media sosial agar dapat mengatur waktu penggunaan media sosial secara wajar dan mengontrol keinginan yang tak terkendali menjadi terkendali. Selain itu, terapi juga membantu penggunanya agar dapat menyalurkan pikiran dan perasaannya dengan cara yang lebih baik sekaligus meningkatkan harga dirinya.
Tentunya mencegah lebih baik daripada mengobati. Sebaiknya pencegahan dimulai dari diri sendiri dan juga dari orang tua terhadap anak-anaknya karena anak-anak dan remaja rentan mengalami kecanduan media sosial. Apalagi seiring dengan semakin maraknya aplikasi-aplikasi baru yang dapat saja disalahgunakan oleh anak dan remaja untuk mencari akses pornografi, perundungan dan penipuan.
Penggunaan internet sebaiknya dibatasi hanya jika ada kebutuhan untuk menggunakannya, yaitu saat ingin berkomunikasi, mencari informasi penting, untuk kebutuhan kerja, dan saat darurat saja. Saat ini juga terdapat beberapa aplikasi untuk membatasi waktu penggunaan layar di telepon genggam dan dapat memantau aplikasi apa yang paling banyak kita gunakan. Kita dapat menentukan batas penggunaan media sosial tertentu, misalnya maksimal penggunaan Instagram dan Tik tok hanya 30 menit dalam 24 jam. Coba untuk meningkatkan aktivitas fisik dan terhubung secara sosial dengan orang yang berada di dekat anda dibandingkan terhubung melalui telepon genggam.
Bila anda atau keluarga sudah mengalami ketergantungan media sosial ataupun adiksi perilaku lainnya, konsultasikan dengan psikiater di RS Hermina Tangerang.